Senyum Aqila Dzaka.
Kelima
anak itu berjalan beriringan. Masing masing membawa buku catatan dan
pena trgantung di saku kemeja mereka yang putih-putih. Warnanya
semakin berkilau ketika ditempa sinar mentari pagi yang mulai
meninggi pada pagi itu. Tak ada rambut yang kering, semuanya terlihat
basah berkilau dengan minyak rambut. Jalanan bigitu sepi, karena
semua teman mereka masih sibuk di kelas masing masing. Tapi entahlah
mungkin malah juga ada yang asyik bergumul dengan mimpi mereka di
tengah ustadz menjelaskan panjang lebar tentang pelajaran. Sebut saja
mereka dengan lima sekawan. Ada Rafif si kecil, Azriel si kepala
bulat, Rizqan si cerewet tukang celoteh, Maxi si bandel dan Bintang,
pemimpin dari lima sekawan tersebut.
Senyum
terukir di keempat wajah mereka. Empat? Iya hanya empat. Bintang
tanpak menunduk menyembunyikan kegundahan hatinya. Ia merasakan akan
ada sesuatu yang hilang beberapa meit kedepan. Iya, beberapa menit
lagi ketika tapak kakinya bersama ke-empat kawannya telah sampai ke
ruang pertemuan. Walaupun ia tak pernah tahu apa yang akan ia terima
ketika masuk ke gedung itu. Tapi sejak tadi pagi ketika sebuah surat
panggilan datang ke kelasnya senyum yang mengawali setiap
hari-harinya hilang seketika bersama ucapan “selamat” dari kawan
kawannya di kelas.
“Selamat
ya.....”
“Selamat
ya, Bintang....alhamdulillah aku punya teman seperti kamu yang selalu
mengajari”
“Selamat
ya, Bintang...jangan lupakan temanmu di sini walaupun kamu punya
banyak teman baru disana”
Dan
masih banyak ucapan yang ketika ia dengar, itu semakin membuatnya
gelisah.
Kelima
anak itu disambut oleh beberapa ustadz dengan senyum yang tak kalah
lebar. Kemudian mereka duduk bersama di deretan kedua. Deretan
pertama sudah penuh dengan anak-anak yang lain. Sama juga, mereka
memakai baju putih dan membawa buku catatan. Ada beberapa yang tanpak
bersemangat. Ada juga yang sedikit gelisah. Tapi entahlah apa yang
membuat mereka tanpak gelisah. Apakah mereka juga merasakan apa yang
dirasakan oleh Bintang?
“Anak-anakku
sekalian, hari ini merupakan hari yang sangat membahagiakan. Kalian
yang berkesempatan untuk melanjutakan ke jentang kelas tiga bukanlah
karena kalian pintar. Bukanlah karena kalian beruntung. Tapi karena
kalian dipercaya. Apapun yang akan kalian hadapi tetaplah giat
belajar. Memang akan terasa berat di awalnya karena kalian harus
langsung bergelut dengan pelajaran baru dan berbahasa arab, tapi
cobalah dahulu! Tak ada kata tidak mungkin bagi kalian.....” Itu
adalah sambutan dari direktur KMI. Al-Ustadz Masyudi Subari.
“......jadi,
sipkah kalian untuk melanjutkan ke jenjang kelas 3?”
“SIAP!!”
Suara tegas, keras, penuh semangat menggema di dalam ruang pertemuan.
Semua wajah yakin dan terimplus motifasi Bapak Direktur. Sungguh
pidato yang sangat hebat!
Namun,
ketika senyum bangga Bapak Direktur bersama anggukannya belum hilang.
Seseorang dari deratan kursi kedua mengangkat tangannya. Kegelisahan
itu memuncak dan menjadi sebuah pemantik. Ia melafaldzkan basmalah
untuk memutuskan. Bintang, berdiri tegak dan mengangkat tangannya
tinggi. Semua wajah diruangan itu terpaku kepadanya. Semuanya.
“Ya
akhinaa.....masn ismuka?”
“Bintang
ustadz, ismii Bintang...”
“Ya
akhiinaa Bintang madza hashola laka?”
“Kalau
saya naik ke kelas 3 berarti saya harus meninggalkan teman-teman saya
di kelas dua ustadz?”
“Hmmmm....,
secara formalitas tentu saja. Kegiatan akademis di kelas, belajar
malam, dll kamu harus dengan teman-teman kamu kelas 3. Tapi tenang
saja, kamu masih bisa bertemu dengan mereka di rayon, di kursus sore,
di club, dan dimana saja.”
“Bolehkah
bagi saya untuk mengundurkan diri?”
Semua
wajah tersitatap kepada Bintang. Pertanyaan itu belum pernah
didendangkan sebelumnya. Ya selama puluhan tahun Pondok ini berdiri.
“Apakah
saudara Bintang tidak siap untuk melanjutkan ke jenjang kelas tiga?”
Ustadz Farid menimpali pertanyaan.
“Sejujurnya
saya sangat siap Ustadz, dan saya juga sudah beajar sedikit-sedikit
ketika syawal pelajaran kelas tiga karena saya tahu saya pasti
mendapat kesempatan ini. Tapi ternyata, apalah hati ini hanya bisa
gelisah dan tidak terima dengan hal tersebut. Sulit untuk mengakui,
tapi saya harus mempunya alasan kuat untuk mengundurkan diri. Saya
tetap ingin bersama-sama teman-teman saya di kelas 2 sekarang.....”
“Bukankah
kamu bisa menemui mereka di rayon bahakan setiap waktu bisa...”
“....eee,
iya juga sih. Saya lebih senang jika bisa belajar bersama dengan
mereka. Ya walaupun terkadang saya juga jadi tidak belajar tidak
apa-apa. Bukankah sebaik baiknya belajar adalah dengan mengajari,
maka saya tetap di kelas dua saja ustadz....lau samakhtum...”
Ustadz
Masyudi menoleh ke Ustadz Farid meminta persetujuan. Disampinya
Ustadz Sutrisno juga mengangguk.
“
Ya baiklah permohonan pengunduran kami setujui, ada lagi yang merasa
tidak siap?” Ustadz Masyudi menatap sekilas. Mengajukan kembali
sebuah pertanyaan.
Dua
anak disamping Bintang tersenyum lantas mengangkat tangan mereka
bersama-sama. Itu Rafif dan Azriel. Keduanya tanpak cekikikan sedikit
malu.
“Kami
juga mengundurkan diri ustadz, biarkan teman-teman yang lain yang
mendapatkan kesempatan. Saya dan teman saya ini di kelas dua saja,
kami ingin lebih banyak belajar dan juga mengajari....” Rafif
berkata lembut penuh keyakinan. Azril mengangguk yakin lanttas
merangkul temannya tersebut.
“Saya
juga ustadz,” Rizqan berdiri di samping Bintang. Mengangkat
tangannya tinggi-tinggi.
Disamping
Rizqan, Maxi menepuk jidatnya. Menghela nafas panjang tanda prihatin.
Maxi
berdiri, gontai setengah semangat mengangkat tangannya, “Sebenarnya
saya senang ustadz bahakan sangat bersemangat dengan kesempatan ini.
Tapi ya apa daya saya, kalau teman-teman seperjuanagn saya punya
tekat yang baik? Saya hanya bisa mengiyakan saja.....”
Kelima
anak itu dipersilahakan duduk kembali. Dari limabelas orang menjadi
sepuluh orang yang mendapatkan kesempatan itu. Bapak Direktur
kemudian memeberikan wejangan-wejangan tentang belajar dan prestasi.
Selalu saja, wejangan itulah yang memicu semangat luarbiasa.
Selesai
acara, kelima anak itu pulang bersama. Tak ada yang memualai
percakapan. Semuanya menahan senyum mereka. Senyum semangat yang
membara.
Bintang
terhenti sejenak. Dan memndangi satu persatu empatkawannya tersebut.
Ia memulai mantranya. Mantra yag mengimplus jutaan cita-cita.
“Terimakasih..”
Ucapnya lirih.
Rafi,
Azriel dan Rizqan tak bisa menyembunyikan senyum itu juga. Mereka
berbarengan merangkul Bintang. Air mata tersembab di wajah Bintang.
“Maaf
kalau aku mengecewakan kalian dan mengubur harpan kita bersama untuk
langsung naik ke kelas tiga....”
“
Kau bercanda Bintang? Kau meminta maaf? Aku bahakan sangat berterima
kasih kepadamu. Kau tahu kan kalau diantara kami ini kaulah yang
paling berani” Rizqan menimpali lebih semangat.
“Sttt....!!
Sudah-sudah, gak usah lebay-lebay!! tugas kita sekarang banyak kawan,
lebih banyak malahan....kita butuh ini itu dan sebagainya. Kita harus
berjuang lebih keras lagi....”
“Iya!!”
Bintang menjawab dengan semangat, “Betul kata Maxi, kita harus
lebih giat lagi. Lebih baik dari kelas satu kita, kita juga harus
bisa menjadi contoh dan lebih banyak lagi mengajari....Tapi sebelum
itu kita makan dulu yuk!! aku traktir dech...”
“Asyiiiikk!!,
yuk yuk”
Mereka
pun berlalu menuju kantin.
Hari
ini adalah hari dimana sesorang pergi, kadang ia dicela, dicemooh,
direndahkan juga dipandang picik, sebelah mata oleh banyak orang.
Hanya bisa menyusahkan dan merusak segalanya yang sudah ada.
Tapi
tak apalah orang berkata apa, tapi seseorang itu punya tekad sendiri.
Tekad itulah yang menular dan harus ditularkan.
Hari
itu, sosok itu menatap dari jauh kelima anak tersebut. Bibirnya
mengguratkan senyum kecil. Kecil sekali agar tak terlihat orang lain
bahwa ada getir sakit disana. Hari itu, ia pergi. Tapi hari itu juga,
ada yang datang. Mereka datang dan kemudian nama itu kembali
didendangkan banyak mulut.
Karena
ia bukan siapa. ia bukanlah seseorang.
Tetapi ia adalah sifat. Dia Adalah tekad. Dia adalah ruh perjuangan.
Dialah Aqila Dzaka.
Dan
perjalanan ini akan dimulai dari kisah awal ruh ini lahir. Ruh yang
akan menguatkan. Sekuat kalian Lima Sekawan Aqila Dzaka. Dan
akan lahir Aqila Dzaka-Aqila Dzaka yang lainnya.
Comments
Post a Comment