Pengusaha Lima Milyar - Bagian 05


Pengusaha Lima Milyar, sebuah novel karya Aqila Dzaka
Pengusaha Lima Milyar, sebuah novel karya Aqila Dzaka
Jika ditanya “Cita-cita kamu jadi apa?” sepertinya pertanyaan itu menjadi nomor dua yang sulit dijawab setelah pertanyaan “Kapan nikah?”

Lantas aku terfikir untuk menjadi pengusaha sukses. Masih terlalu umum bagi anak umur duapuluhan dan hanya akan menjadi bahan tertawaan jika tidak punya rencana yang jelas. Apalagi belum memulai usaha dari sekarang.

Well, setelah makrab Smart Jogja aku jadi punya usaha jasa editing video. Start yang cukup bagus walaupun belum punya apa-apa. Tapi setidaknya sudah memulai.

Hari yang kutunggu-tunggu telah tiba. Hari ini akan diadakan seleksi kegiatan mahawira. Aku sangat bersemangat. Di malam hari kupersiapakan berbagai hal untuk menghadapi seleksi ujian tulis dan wawancara. Sebuah masterplan usaha yang akan aku ritis.

Bangun subuh, bayangan seleksi itu yang langsung membuatku sepenuhnya sadar. Sampai saat wejangan abah, bayang-bayang seleksi mahawira memenuhi kepalaku. Mandi, sarapan dan langsung berangkat ke kampus. Hari ini jadwal Mbak Eva piket halte Trans Jogja. Kuceritakan sedikit keseruan makrab Smart Jogja tidak lupa juga kegiatan Mahawira. Mbak Eva senang mendengarnya, memberiku semangat.

Aku mengikuti seleksi gelombang pertama, pukul sembilan pagi. Seleksi pertama adalah tes tulis. Aku masuk sebuah ruangan bersama sembilan orang peserta, enam peserta putra dan sisanya putri. Ruangan seleksi berbeda dengan ruangan kuliah. Kami ditempatkan di meja bundar khas ruangan rapat para dosen. Instruktur dari Entrepeneur Campus menjelaskan beberapa ketentuan seleksi. Kami semua khusu’ menyimak.

Lima menit berlalu soal tulis dibagikan. Ada delapan soal dan semuanya berhubungan dengan materi kewirausahaan. Seperti definisi wirausaha, teknik pemasaran, peran teknologi dan beberapa soal analisis berupa soal cerita.

Aku merasa sangat bersemangat. Lembar jawaban kusapu bersih dengan semua kata-kata yang tergambar di kepalaku. 45 menit berlalu, aku yang paling pertama mengumpulkan. Jawaban pas di baris terakhir. Sempurna.

Selesai tes tulis aku diarahkan menuju gedung pusat entrepeneur campus, bersiap untuk tes wawancara. Aku duduk di depan ruangan tes. Mengeluarkan buku catatan masterplanku dan membacanya kembali. Beberapa staff Entrepeneur Campus berlalu lalang masuk ruangan.

Beberapa menit kemudian seorang staff memanggil namaku. Aku mengangkat tangan, lekas menghampirinya. Dia menyuruhku masuk lantas meninggalkanku.

Aku mantab melangkahkan kaki, mengetuk pintu yang sudah dibuka lantas mengucapkan salam. Belum sampai salam selesai kuucapkan, mata yang refleks menatap deretan para penguji membuatku tercekat. Ternyata benar, kegiatan ini langsung dibina oleh bapak rektor kampus. Beliau tersenyum melihatku pede masuk ruangan.

Selamat pagi pengusaha sukses,” sapa beliau.
Selamat pagi juga pengusaha sukses, eh maksud saya bapak rektor”

Aduh apa yang terjadi denganmu Syad, sadar donk, tunjukkan kepedeanmu, katanya pengusaha sukses.

Aku berdiri didepan para penguji. Kesejukan ruangan serasa hilang. Kuatur nafasku untuk menenangkan. Optimis dan yakin.

Bapak rektor punya giliran pertama bertanya.

“Siapa namamu?”
“Arsyad pak”
“Baiklah Arsyad, disamping sana sudah tersedia tiga benda yang akan membantumu melewati tes wawancara ini. Dari ketiga benda itu mana yang akan kamu pilih?”

Aku menoleh ke tiga benda yang ditunjukkan Pak Rektor. Sebuah papan tulis lengkap dengan penyangga dan spidolnya. Kemudian sebuah sofa bulat empuk dan satu lagi meja dengan satu set cerek dan cangkir, entah ada isinya atau tidak.

Ku ambil papan tulis lengkap dengan teman-temannya.

“Kenapa memilih benda itu?” tanya beliau.
“Firasat saja pak, saya harus memilih benda ini”

Beliau mengangguk didikuti dengan tiga penguji lainnya yang sibuk menulis sesuatu, nilai mungkin.

“Baik Arsyad, sekarang saya beri waktu lima belas menit dibantu dengan benda yang kamu pilih itu buatlah keramian di tempat ini”
Ku kernyitkan dahiku, tidak paham. “Maksudnya pak?”
“Lakukan sesukamu, menjadi pengusaha itu berarti memilih untuk bebas melakukan apa saja. Tapi yang terpeting waktu terus berjalan”

Aku tersenyum, paham dengan maksud beliau. Ku lepas kancing lengan bajuku lalu kulipat tigaperempat. Kuambil spidol dan mulai menuliskan sesuatu.

“Eheem, baiklah bapak ibu yang terhormat, selamat datang di MUMU Group”

Dan masterplan yang semalam kurancang tumpah semuanya. Limabelas menit berlalu sangat cepat.


Setelah panjang lebar menjelaskan, berbagai pertanyaan kini dilemparkan kearahku.

“Bagaimana jika ada kecelakaan?” salah satu penguji menanyaiku.
“Ya saya akan meminimalisir, saya akan hadapi dan mencari solusi dari kecelakaan itu” jawabku yakin.
“Apa yang akan kamu lakukan jika satu dari plan itu tidak mencapai target? menuju ke plan selanjutnya atau tetap menjalankan plan tersebut?” pertanyaan yang satu ini dari penguji yang duduk di paling ujung.
“Saya akan maksimalkan dan tunggu mencapai target, baru setelah itu akan dilanjutkan”
“Jika gagal?”
“Akan tetap saya lanjutkan dengan cara dan inisiatfi yang berbeda, saya akan rubah caranya tapi tetap dengan target yang sama”
“Plan B?”
Aku menggeleng. “Hanya plan A dan itu harus berhasil” Kataku bersikukuh yakin.

Tes itu selesai setengah jam kemudian. Aku kehabisan rencana. Pertanyaan dari segala kemungkinan buruk diajukan kepadaku. Semakin lama pertanyaan-pertanyaan itu semakin tidak kupahami dan hanya bisa kujawab dengan keyakinan bahwa perusahaanku bisa menghadapinya.
Keluar dari ruangan tes para peserta yang menunggu giliran langsung mendekatiku bak wartawan yang bertemu dengan narasumber, menyodoriku dengan banyak pertanyaan. Ku bilang yakin saja dan siapkan masterplan terbaik kalian.

Selesai tes wawancara aku bergegas menuju halte Trans Jogja, ingin segera pulang. Semangatku setelah tes wawancara tadi hilang menguap. Padahal aku yakin sekali dengan masterplan yang aku buat, beres tanpa cacat saat aku susun semalam. Semua sudah aku perhitungkan dalam bayanganku.

Lantas kenapa tadi masih tidak bisa menjawab pertanyaan dari penguji? Harus sedetil itukah sebuah rencana? Bukankah yang terpenting itu adalah pengerjaan rencana tersebut? Lantas buat apa rencana sedetil itu? Bukankah rencana hanya akan menghasilkan rencana yang lainnya? Lah kenapa kenapa jawaban ini baru terdetik sekarang bukannya tadi waktu wawancara?

Sumpah-serampah aku menggoblok-goblokkan diriku sendiri di dalam bus Trans Jogja.


Comments

Popular posts from this blog

Wajah-Wajah Angkatan 2014, Smart Generation.

Apa Bahasa Inggrisnya "Crot"?

Kondangan mulu, kapan dikondangin?