Pengusaha Lima Milyar - Bagian 06
Pengusaha Lima Milyar, sebuah novel karya Aqila Dzaka |
Penyakit dari orang
yang akan memulai usaha adalah terlalu banyak memikirkan resiko.
Mereka tenggelam dalam ketakutan atas resiko yang mereka fikirkan.
Mereka tidak menyadari bahwa dibalik resiko itu terdapat keuntungan
yang besar. Terlalu fokus pada resikonya bukan pada keuntungannya.
Minggu pagi aku
disapa Ria lewat LINE. Dia berceloteh mengataiku bangkong karena
tidak membalas pesannya saat adzan subuh terdengar.
“Mana ada
bangkong, jamaah subuh di pondok wajib hukumnya,” balasku pesannya
setelah selesai mengaji. Dia masih mengataiku
“Alasan,”
Lama kami berdebat
sampai berganti topik, akhirnya kita janjian lari pagi bersama di
tempat biasa. Alkid.
Rasa malas masih
menguasaiku. Pertanyaan-pertanyaan dari tes kemarin masih terbayang
dan mengganjal di kepalaku. Ya, daripada terus-terusan, siapa tahu
setelah dibuat lari pagi bisa fress lagi.
Kuganti baju koko
dan sarungku dengan training biru dan kaos warna orange, salah satu
jersey kesebelasan sepakbola negara di eropa. Lekas-lekas kupakai
sepatu olahragaku kemudia berlari menuju Alkid.
Pagi ini cuaca
cerah. Matahari tidak malu-malu untuk keluar.
Teriknya menghangatkan pagi. Embun-embun mulai menguap. Jalanan mulai
ramai oleh para pecinta sepeda. Mereka berombongan mengayuh
sepedanya. Berkeliling kota Jogja.
Ku pasang earphone
lalu kuputar playlist favoritku, musik-musik dubstep modern yang
menggugah semangat. Mengikuti iramanya, kakiku mulai berlari
mengelilingi alun-alun. Sampai diputaran ketiga seseorang menyusulku.
Berlari tanpa alas kaki dengan kerudung bermotif bunga. Menyusulku
lantas berbalik badan, berlari mundur.
“Ya Allah lemes
banget kamu Syad, semangat lho,” katanya sambil mempercepat
larinya.
Itu Ria. Dia
mendapatkan tiga putaran putus-putus. Menyombong kepadaku yang
mendapatkan enam putaran penuh dengan menunjukkan grafik dari aplikasi penghitung kalori pada
ponsel pintarnya. Katanya tiga putaranya lebih baik daipada enam
putaranku. Mana ada?
“Yang kalah hukumannya traktir sarapan” begitu kesepakatan yang kami buat kemarin, waktu
lari pagi bersama untuk pertama kalinya.
“Menu kita hari
ini adalaaaah...Soto Ayam,” Ria datang membawa nampan berisi dua
mangkok Soto Ayam lengkap dengan kecap, sambal dan beberapa tusuk
sate telur puyuh.
Dia duduk
disampingku, meluruskan kakinya lalu mengeluarkan ponsel pintar,
sibuk sendiri. Alun-alun semakin ramai dengan pengunjung. Senam
bersama sudah sampai tahap pendinginan.
“Gimana kuliah?”
tanyaku berbasa-basi.
“Kepo,” jawabnya
simpel. Menatapku sebentar lantas menggembungkan pipinya yang
menggemaskan. Sibuk lagi dengan ponsel pintarnya.
Aku tersenyum,
maklum. Kusantap soto ayamku. Ku tambahkan banyak sambal. Aku suka
yang pedas-pedas. Ria masih sibuk dengan ponsel pintarnya.
“Syad,”
“Iya?”
“liat nih”
Ria menunjukkan
layar ponsel pintarya. Sebuah quote tentang cinta. Aku tersenyum membacanya.
“Itu soto dimakan
dulu, habis nanti dimakan semut,” kataku mengingatkan. Dia
cepat-cepat mengambil sotonya. Melahapnya sambil kepanasan.
Sambil menikmati
soto, kami mengobrol banyak hal. Ria bercerita, eh bukan bercerita
tapi curhat tentang Wahyu.
“Dulu tuh ya, aku
sama Wahyu dekeeet banget,”
“Wah keren tuh”
“Aku sama dia
sering banget jalan-jalan bareng”
“Berdua?”
Ria mengangguk.
“Emang unggak
dimarahin di pondok?”
“Oh ya aku belum cerita ya, tahun kemarin aku belum masuk pondok. Aku masih tinggal di kos dekat kampus”
“Oh ya aku belum cerita ya, tahun kemarin aku belum masuk pondok. Aku masih tinggal di kos dekat kampus”
“Oalah,
terus-terus?”
“Ya aku sama Wahyu
sering jalan-jalan bareng. Pernah dulu aku diajak untuk mengajar
pesantren kilat dan...”
Ria terdiam.
“Dan apa?”
“...itu kali
terakhir aku bisa bareng sama dia”
“Kok gitu?”
Ria tertunduk. Gurat
wajahnya berubah. Menyembunyikan wajah sedihnya dengan menatap ponsel
pintarnya yang tidak ada notifikasi.
“Kamu jangan
cerita siapa-siapa ya, cukup kamu aja yang tahu” Suaranya lirih
terdengar. Matanya berkaca-kaca.
“Pas waktu
Pesantren Kilat kita jadi akrab banget, dari yang akrab temen gitu
ini serasa lebih dari itu. Dia rela jauh-jauh setiap hari jemput aku
dan mengantarku pulang. Aku bisa lihat mata sayunya yang capek setiap
selesai acara, tapi dia tetep ngotot mau mengantarku pulang,”
“Dua hari sebelum
pesantren kilat berakhir, dia mohon pamit pulang ke rumah. Ibunya
sakit. Malam itu aku mengantar dia sampai stasiun. Sedih sekali
rasanya kita harus jauh. Tapi mau bagaimana lagi, entah kenapa malam
itu aku menangis. Baru pertama kali dalam hidupku aku menangis
gara-gara perpisahan. Aku menangis di depan dia. Dan malam itu juga
aku bisa merasakan bagaimana dia sayang banget sama aku.
Bagaimana dia bisa menguatkan aku. Memberiku semangat agar kuat. aku dan dia berjanji untuk kembali ke Jogja di
tanggal yang sama.”
“Dua hari terakhir
pesantren kilat, kukirim semua foto kegiatan. Dia senang sekali dan
sesekali menceritakan keadaan ibunya yang semakin membaik. Setiap
malam tidak ada habisnya kita saling bercerita. Setiap hari seperti
itu. Aku menyayanginya dan aku yakin dia juga menyayangiku...”
Ria terdiam,
suaranya putus menahan sesunggukan. Ku hela nafas panjang.
“Pertengahan
ramadhan aku pulang ke rumah. Kami masih saling bertukar cerita.
Seminggu dua minggu berlalu masih seperti itu. Sampai seminggu
sebelum tanggal aku dan dia janjian untuk kembali ke Jogja,
handphoneku rusak. Gusar sekali hatiku waktu itu. Aku meminjam
handphone adikku dan menceritakan perihal handphoneku yang rusak. Dan
seperti biasa, dia selalu menawan dengan nasehatnya. Menghiburku dan
menasehatiku bahwa semua akan baik-baik saja. Dia menyuruhku
memanfaatkan kesempatan itu untuk fokus dengan kegiatan rumah tanpa
memikirkannya. Dia berharap aku menjadi kuat, lebih kuat tanpa dia di
dekatku”
“Aku yakin itu
jadi seminggu yang berat banget,” tebakku.
Ria mengangguk.
“Aku terlanjur
nyaman sama dia Syad, sayangkah atau cintakah yang penting aku gak
mau jauh dari dia. Susah sekali sehari tanpa dia. Sampai aku menangis
setiap malam, merengek ke adikku supaya meminjamkan handphonenya. Ingin lagi dengar suaranya. Tapi aku
ragu untuk menelfonnya...”
“Kok ragu?”
“Aku takut
mengecewakannya”
“Trus akhirnya
kamu nelfon dia apa unggak?”
Ria menggeleng.
“Aku sadar aku
belum cukup baik buat dia, aku hanya wanita yang lemah. Aku menangis
setiap malam, Entah pingin nangis aja, gak tahu apa masalahnya.
Seminggu terakhir liburan itu aku mencoba kuat. Menjadi apa yang dia
harapkan,”
“Aku dan Wahyu
janjian tanggal 14 September. Dihari kami janjian itu juga
handphoneku sudah bisa dipakai lagi. Sepanjang perjalanan pulang aku
chat dia tentang cerita seminggu terakhir dirumahnya. Jawabannya
datar sekali, berbeda dari sebelumnya,”
“Emang dari chat
bisa tahu perbedaanya,”
“ya kalau kamu
peka, pasti tahu,”
“oh begitu,
berarti aku yang kurang peka, oke lanjut”
Ria tertawa
mendengar jawabanku “Kok kamu polos banget sih Syad”
“He he he, eh
lanjutin ceritanya”
“...semenjak
liburan dia berubah. Apa ya, rasanya dia menjauh dari aku,”
“Terus kamu diam
saja?”
Ria mengangguk.
Melihat anggukannya ku hela nafas panjang. Ya kalau soal seperti ini
bisa bantu apa aku?
“Aku gak bisa
diginiin terus Syad, kamu tahu kan rasanya saat kamu sudah nyaman dan
ingin bertahan pada seseorang terus dianya tiba-tiba menghilang?”
Aku menggeleng.
Nyengir.
“Ya mana aku tahu
Ria, kan aku belum pernah ngerain seperti itu,”
“oh iya, dasar
jomblo,” Ria tertawa.
“Ya seperti
itulah, oh iya, kemarin waktu makrab kayaknya kalian fine-fine aja?”
“Ya, yang terlihat
memang fine, tapi dia udah beda Syad, suaranya, nadanya, semuanya
beda. AKU KANGEN DIA YANG DULU”
“Eh, iya-iya, aku
paham kok. Mungkin bukan dia yang berubah, tapi kamu yang berubah”
“Eh? Maksudnya?”
“Unggak jadi,
salah ngomong tadi,”
“Iiih, nyebelin
tauk, serius ini, ngomong apa tadi?”
Ku nyalakan ponsel
pintarku.
“Nih baca,”
“Apa?”
Kutunjukkan sebuah quote dari ponsel pintarku.
“Jangan mencari
dia dimasa lalu, karena dia ada dimasa sekarang”
“Terus apa
hubungannya?”
“Entah, keren aja
menurutku, he he he”
“Huuu, dasar
nyebelin”
“Aku boleh nebak
gak?”
“Apa?”
“Mungkin dia
dijodohin sama orang tuanya”
“Nooo, gak boleh
pokoknya, jodohnya cuma aku,” Ria menunjukkan muka sebalnya yang
menggemaskan. Aku tersenyum
“Sisi positifnya
kamu bisa belajar tentang tabiat laki-laki kan, ya walaupun tidak
semua laki-laki seperti itu, tapi kamu sudah dapat salah satu
contohnya”
Kami berpindah ke
tempat. Matahari semakin terik. Beberapa orang masih berlari memutari
alun-alun. Para pedagang kaki lima semakin ramai dengan pembeli.
Ku ajak Ria
mencicipi rujak buah. Sepertinya enak makan yang pedas-pedas.
Aku memesan dua porsi dalam satu piring. Tidak lupa dengan dua gelas
es degan. Kami melanjutkan obrolan di sebuah gazebo kecil dekat
alun-alun.
Giliran dia yang
menuntut ceritaku. Apa saja tentang pengalaman dan perasaan. Aku
tertawa. Tentu saja aku menjawabnya simpel, tidak punya. Ya doakan
saja agar segera mempunya pengalaman seperti itu.
“Kalau difikir
lucu ya Syad”
“Apa?”
“Di umur kita ini,
maksudnya umur dua puluhan, wanita cenderung menuntut kepastian.
Kebanyakan seperti itu. Mereka ingin serius kalau sudah menyangkut
soal hati. Dan itu berbanding terbalik dengan laki-laki...”
“Hmmm, biar aku
terusin, laki-laki diumur duapuluhan cenderung asyik dengan dunianya
sendiri, yang kuliah ya asyik dengan kuliahnya dan yang usaha juga
sibuk dengan usahanya. Semua laki-laki sibuk dengan dunianya
masing-masing, belum mau memikirkan serius soal hubungan, kalaupun
ada yang pacaran sudah jelas ujungnya pasti main-main,”
“Eh, kok bener sih
tebakanmu?”
“Ini mah di IG ada
Ria,”
Aku dan Ria tertawa.
Sama-sama membicarakan quote yang muncul di IG semalam.
“Kamu sendiri
kapan mau mencari pendamping Syad?”
“Hmmm, kapan ya?
Nunggu mapan dulu lach” Kataku nyengir, “Nah kalau kamu kapan mau
serius sama Wahyu?” tanyaku balik.
“Yeee, aku mah
kalau soal hati dari dulu selalu serius Syad, dianya aja yang mulai
mencampakkan hatiku” wajah Ria berubah sebal, semakin menggemaskan.
“Tapi kayaknya aku
mau move on aja lach dari Wahyu,”
Ku acungkan
jempolku, setuju. Mulutku masih mengunyah potongan mangga rujak buah.
Segera kutelan.
“Fix berarti kamu
jomblo” kataku.
“Ya bisa dibilang
seperti itu” Ria ngangguk-ngangguk. Tersenyum malu.
“Terus kapan mau
nyari yang serius?”
“Hmmm, aku nunggu
kamu mapan aja”
eh?kamipun tertawa
bersama.
Pagi itu kami
dipisahkan juga oleh adzan dhuhur. Kulambaikan tanganku sambil
tersenyum menyemangati sebelum bayangannya hilang di
perempatan lampu merah. Memacu motornya pulang.
...
Comments
Post a Comment