Hukum Waris Islam Menindas Hak Perempuan, Benarkah?
Oleh: Moh. Rizal Prasetya Mulyadi
Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibarahim Malang Semester 6
Syariat Islam datang untuk membimbing manusia ke jalan lurus yang
selaras dengan fitrah mereka. Syariat ini mengangkat segala kesulitan serta
kerancuan yang ada pada diri manusia serta memberikan mereka segala sesuatu
yang diperlukan manusia di setiap aspek kehidupan mereka. Sangat tidak mungkin
bila syariat beserta hukum-hukumnya merupakan suatu ketidakadilan, karena
syariat ini bersumber langsung dari Allah SWT sang pencipta manusia itu sendiri
dan Allah SWT yang memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim mengharamkan atas
dirinya untuk berbuat zhalim. Maka, syariat beserta hukum-hukumnya tidak akan
mungkin mempunyai secercik kekurangan didalamnya dan di dalam ketentuan-ketentuannya.
Al-quran menjelaskan semua ketentuan-ketentuan syariat secara
terperinci dan sebagian yang lain dalam bentuk yang masih global dan masih
membutuhkan penjelasan-penjelasan serta penafsiran. Salah satu ketentuan
syariat yang terperinci di dalam Al-quran adalah mengenai hukum waris. Dalam
rangka memahami serta menjaga sifat umum manusia yang sangat mencintai harta
kekayaan dan anak sebagaimana yang tertera dalam surat Al-Anfaal ayat 28:
“dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar”.
dan
dalam surat Al-Fajr ayat 20:
“ dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan”.
,
hukum waris di jelaskan secara rinci di dalam sumber hukum umat Islam yang
pertama yaitu Al-quran.
Manusia sangat suka
mengumpulkan harta kekayaannya serta mengumpulkannya dan memindahkannya kepada
keturunan-keturunan mereka. Syariat sangat memahami hal ini, karena kecintaan
manusia terhadap harta kekayaan memotivasi mereka untuk bekerja keras dan tidak
bermalas-malasan di setiap pekerjaannya, dan kalau bukan karena hukum waris
niscaya perpindahan harta kekayaan mereka kepada keturunan mereka akan rancu
serta tidak jelas.
Banyak yang beranggapan bahwa perempuan terdzalimi dan hak mereka dibatasi
dengan ketentuan-ketentuan syariat atas hukum waris karena bagian laki-laki
sama dengan bagian dua orang perempuan sebagaimana yang tertera di dalam surat
An-Nisa ayat 11:
”…bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan…”,
dan
anggapan ini adalah sebuah anggapan yang salah. Hukum waris syariat Islam
merupakan hukum yang sangat ideal, dan bila hukum waris dalam syariat Islam
menetapkan bagian lelaki sama dengan bagian dua orang perempuan maka
sesungguhnya benarlah ketetapan serta
ketentuan-ketentuan hukum itu sebagai ketetapan pembagian yang adil diantara
keduanya.
Pernahkah kita membayangkan keadaan para kaum perempuan pada masa
sebelum syariat islam turun?, ya, mereka tertindas dan terinjak-injak. Kaum
perempuan pada kala itu sangat tidak dihargai, mereka diperjual belikan
layaknya barang dagangan, bahkan mereka menjadi objek waris itu sendiri. Mereka
diwariskan kepada keturunan si mayyit. Bahkan, hal yang sangat tidak manusiawi
dilakukan pada mereka, mereka dibunuh ketika mereka baru dilahirkan ke dunia
ini, mereka dianggap sebuah aib keluarga.
Setelah datangnya syariat Islam, martabat kaum perempuan diangkat.
Mereka dihargai, mereka dihormati, mereka yang pada mulanya menjadi objek
warisan itu sendiri bahkan mendapatkan hak waris atas harta peninggalan si
mayyit. Mereka diberikan hak-hak yang sudah mestinya menjadi hak mereka. Tidak
ada maslahat bagi Allah sang pencipta alam semesta dalam membedakan kaum lelaki
dengan kaum perempuan, Allah SWT tidak membutukan manusia, sebaliknya
manusialah yang membutuhkan Allah SWT.
Beberapa hal yang menjadikan bagian lelaki sama dengan bagian dua
orang perempuan yang paling dominan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa
ayat 34:
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka…”.
Mereka sebagai pemimpin
serta pemberi nafkah. Mereka memberikan mahar kepada perempuan, mahar tersebut
adalah hak milik absolut bagi perempuan yang tidak boleh di ikut campuri oleh
pihak lain. Dan juga tidak ada satu ayat pun di dalam Al-quran yang mewajibkan
kaum perempuan untuk menafkahi, sebaliknya beban tersebut di pikulkan kepada
lelaki sebagai peminpin dalam rumah tangga. Dalam hal menegaskan bahwa dalam
kondisi finansial apapun si suami wajib menafkahi istri dijelaskan dalam surat
At-Thalaq ayat 07:
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan”.
Kendatipun
lelaki berpenghasilan lebih sedikit dari perempuan, dan juga maraknya wanita
karir, namun jangan pernah dilupakan bahwa kepemimpinan lelaki atas perempuan
akan dibawa serta dipertanggung jawabkan di akhirat kelak, dan inilah beban
terberat yang dipikul oleh kaum lelaki.
Setelah dikemukakannya penjelasan di atas, dapat kita ambil
kesimpulan bahwa syariat dan segala ketentuannya tidak mungkin terdapat ketidak
adilan di dalamnya, sebaliknya, syariat dan segala ketentuan-ketentuannya
sangat adil dan selaras dengan fitrah manusia dalam segala aspek kehidupan
mereka. Wanita dijunjung tinggi martabat dan kehormatannya setelah datangnya
syariat Islam dan ketentuan-ketentuannya, yang pada mulanya mereka di jual,
dibeli, dan bahkan menjadi objek waris itu sendiri, sekarang mereka diangkat
dan bahkan mendapatkan hak waris.
Comments
Post a Comment