Pengusaha Lima Milyar - Bagian 00
Dari seberang jalan
salah satu dari 5 ruko yang berjejer itu terlihat ramai. Design
minimalis ruangan tertutup dengan kaca tebal membuat siapa saja bisa
melihat keramaian itu. 5 mahasiswa muda-mudi tampak bercengkrama
bersama. Ramai dengan gelak tawa disusul ocehan-ocehan. Satu orang
duduk di kursi portabel membelakangi sebuah dekstop yang
menyala berkalung headset tanpa kabel. Sebuah proses aplikasi etah
apa masih berjalan. Dua mahasiswi cantik berkerudung santai duduk
disisi lain, berhadap-hadapan dengan dua mahasiswa yang duduk disofa
seberangnya, dipisahkan oleh meja kaca penuh dengan bungkusan
cemilan. Yang berkerudung kuning tampak asyik dengan telpon
pintarnya. Jarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk layarnya. Sesekali
dia tersenyum dan sesekali mendekatkan speaker ke telinganya yang
terbungkus kerudung. Voice message. Yang berkerudung merah lebih
asyik lagi. Tersenyum lebar, tertawa malahan, mendengarkan teman
didepannya mengoceh tentang sesuatu. Yang mengoceh sambil berdiri
memperagakan sesuatu, mengimbangi cerita yang dibawakannya ia seperti
menceritakan banyak hal. Cerita hari itu mungkin. Satu lagi yang
duduk disamping yang mengoceh mendengarkan dengan seksama, ditangan
kirinya ada makanan ringan dan tangan kanannya penuh dengan
remah-remah.
Sayup-sayup juga
terdegar lagu pop hits mengiringi gelak tawa mereka.
Pukul 23.00
Jam segini bukan
lagi waktu menahan mata untuk istirahat. Harusnya mereka sudah
terlelap di kos masing masing. Atau mungkin kontrakan, atau mungkin
seharusnya sudah ada di rumah mereka. Orang tua mereka pasti cemas.
Tapi bagi mereka hari ini jadi hari yang sangat special. Hari
penghukuman. Malam penentuan. Mereka akan membuktikan janji.
Tantangan kesuksesan.
Di seberang jalan,
berjarak 200 meter dari ruko itu berhenti sebuah mobil box berwarna hitam. Dua orang
berjas dan berkacamata bak agen rahasia turun dari mobil. Yang satu
dari kemudi membetulkan lengan baju yang disingsingkan ketika
menyetir. Yang kedua berjalan ke box belakang. Membuka pintunya dan
mengambil sebuah koper berukurang sedang. Mereka berjalan beriringan
menyebrangi jalanan sepi. Jalan mereka tegap, langkah kaki menapak
bersama. Suara derap kaki berbalut sepatu PDL menggema dijalanan.
Yang tidak memegang
koper mengelurkan sesuatu dari dalam saku jasnya. Sebuah benda yang
tidak asing bagi kalian pencinta game strategi. Yap betul sekali itu
sebuah senjata api. Mereka berjalan beriringan menuju ruko itu.
Jalanan masih sepi.
Kelima mahasiswa itu
masih asyik dengan gelak tawa. Yang berkerudung kuning beranjak dari
sofa. Dia bilang ingin membuat teh hangat disusul kemudian sahutan
permintaan dari empat orang temannya yang lain.
Dua orang agen
rahasia atau apalah mereka semakin mendekat. Cahaya ruangan yang
menembus kaca kini menerangi mereka berdua. Yang membawa pistol sigap
mempercepat kakinya, menodongkan pistolnya kedepan dan membuka pintu
minimalis kaca dengan cepat. Jari telunjuk kiri memberi isyarat di
bibir. Diam. Iya isyarat agar keempat mahasiswa yang asyik dengan
gelak tawa mereka tetep diam. Menghiraukan rasa panik.
“Kok diem sih ada
ap…..”
Yang berkerudung
kuning muncul dari balik tembok membawa nampan dengan minuman
berbagai macam. Kaget dan langsung mematung melihat dua orang berjas
rapi berdiri. Salah satunya menodongkan pistol.
“Shtttttt….”
Yang menodongkal
pistol memberi isyarat diam.
“Eeee...mas-masnya
mau minum apa? He he he”
Dua orang berjas
mengernyitkan dahi. Heran. Keempat mahasiswa yang sudah ketakutan
dari tadi bareng menoleh ke arah si kerudung kuning. Heran juga.
Yang menodongkan
pistol angkat bicara,
“Mbak suka kucing
ya?”
Yang ditanya
kesenengan ternyata pertanyaannya bisa mencairkan suasana. Segenting
apapun tetep positif thingking. Begitu prinsipnya.
“Iya, kok tahu
ma...mas”
“Soalnya yakin
sekali punya sembilan nyawa”
eh langsung yang
berkerung kuning duduk bersama keempat teman-temannya. Nampan ia
taruh di meja tidak lupa membagikan minumannya. Dua kopi berganti
pemilik. Kopi itu dia taruh di ujung meja tepat di depan dua orang
berjas itu.
“Monggo mas...”
Keempat temannya
semakin gemas. Yang berkerudung merah melotot kegemesan.
Si pembawa koper
menutup tirai. Ruangan itu sempurna tak terlihat dari luar. Entah apa
yang terjadi jalanan mulai ramai. Jam 23.30 bukan waktu untuk tidur
bagi jalanan perkotaan kota Yogyakarta.
Si pemegang koper
meminta izin untuk duduk di sofa. Dia duduk bersantai. Menghela nafas
panjang, seperti setelah merasakan perjalanan jauh dan butuh
istirahat. Matanya memperhatikan sekeliling ruangan. Dia menaruh
koper yang dia bawa di atas meja setelah menggeser dua cangkir kopi
yang ditawarkan si kerudung kuning.
“Muhammad
Arsyadanil Haq?” Nada bertanya keluar dari mulutnya.
Hening.
“Arsyad!”
Yang dipanggil
mengacungkan tangannya sambil gemetaran.
Si pembawa koper
terseyum. Ia membuka koper dan mengeluarkan tumpukan kertas berbagai
warna. Klipping dari berbagai media massa.
Si pembawa koper
membacakan sebuah kertas yang dia ambil secara acak. Membaca profil
Arsyad. Profil yang panjang, menyita waktu 5 menit. Selesai membaca
dia tersenyum kemudian mengambil sebuah cerutu dari kantong bajunya.
Si penodong pistol mengambil kursi di belakangnya kemudian
menaruh disamping sofa si pembawa koper. Ujung pistol dia arahkan ke
ujung cerutu si pembawa koper. Dia menarik pelatuk dan keluarlah api
berwarna kebiruan. Sempurna. Cerutu itu menyala sempurna. Bersamaan
dengan itu gelak tawa riuh memenuhi ruangan.
Si pembawa koper
mengenalkan diri, menyebutkan sebuah nama organisasi dan menceritakan
sedikit tentang organisasi ditambah embel-embel cerita
tentang sosok gagah tegap disampingnya. Obrolan itu dia akhiri dengan
sebuah permintaan.
Arsyad tersenyum.
Diikuti keempat teman-temannya.
“Esok akan kami
antarkan” jawabnya yakin disambut anggukan teman-temannya.
Dihari yang sama, 3
tahun yang lalu kisah ini dimulai. Ketika kalian hanya bisa
membayangkan memilikinya aku memilikinya. Namaku Arsyad, pengusaha
sukses pemilik perusahaan yang pasti akan menguasai dunia. Memulihkan
roda ekonomi Indonesia.
Comments
Post a Comment