Pengusaha Lima Milyar - Bagian 01

Pengusaha Lima Milyar, novel oleh Aqila Dzaka
Pengusaha Lima Milyar


Semua keputusan penting tidak boleh diambil di hari Senin.
Itu yang kupelajari dari ilmu manajemen perusahaan. Tapi aku bukan mahasiswa ataupun sarjana manajemen universitas manapun. Aku mahasiswa teknik informatika di salah satu sekolah tinggi manajemen ilmu komputer di Yogyakarta. Mahasiswa baru, baru masuk beberapa bulan lalu.

Seperti biasanya aku berangkat ke kampus menggunakan Trans Jogja. Angkutan kota mirip busway di ibukota ini sudah menemaniku hampir setengah tahun. Aku selalu menikmati perjalanan menggunakan Trans Jogja. Dari kursinya tempatku duduk bisa kulihat menembus jendelanya suasana pagi sudut-sudut kota. Sambil kupasang headset ditelinga dengan musik-musik kesukaanku yang mengiri perjalaan, duduk di kursi sambil menelisik menatap jalanan menjadi momen terfavoritku. Saat musik yang mengalun bisa menarik sejuta imajinasi dan mulai mengajakmu terbang ke alam duniamu sendiri. Bayang-bayang masa depan ada di kepalaku dan mengundang senyuman bahagia.

“Assalamualaikum Mbak Eva”, sapaku ke perempuan paruh baya berkerudung hijau yang duduk di loket halte.
“Wa’alaikumsalam, eh Mas Arsyad, tumben pagi-pagi sudah berangkat”
“Biasa Mbak, hari Senin, takut Transnya kejebak macet”
“Oh iya-ya, hari senin ya, lupa aku”

Sembari mengobrol, Mbak Eva memasukkan kartu Trans Jogja ke dalam mesin pintu halte. Lampu indikator merah berganti hijau dan aku berjalan melewati pintu. Dua lembar uang dua ribuan ku berikan. Mbak Eva memberi kembalian.

Jangan tanya bagaimana aku bisa kenal dengan Mbak Eva, kalian tentu bisa menebak sendiri. Setengah tahun sudah cukup kiranya bagi mahasiswa yang suka kepo untuk mengenal banyak orang. Tentu saja juga dikenal lebih bayak lagi orang.

Sambil menunggu datangnya bis Trans Jogja, aku dan Mbak Eva berbincang-bincang. Aku bertanya mengenai weekendnya kemarin. Dia menceritakan kisah singkat kerepotannya dirumah. Dia tinggal  mengontran di Jalan Pramuka, sekitar satu kilometer dari halte. Kemarin dia sibuk mencuci baju, memasak, membersihkan rumah dan banyak perkerjaan rumah ibu rumah tangga lainnya. Suaminya kerja di sebuah hotel dekat Malioboro sebagai satpam.

“Namanya istri harus sibuk mas, kalau ndak sibuk ya bukan istri namanya.”
“he..he..he, iya mbak, salut sama mbak bisa membagi-bagi banyak kesibukan, dirumah saja sudah sibuk, apalagi ini, ditinggal kerja, tapi ada sisi positifnya sih mbak, mbak bisa kumpul sama anak-anak.”
“Alhamdulillah, Insya Allah berkah Mas Arsyad. Sebenarnya kalau boleh curhat ya sebenarnya saya itu ndak mau bekerja.”
“Kenapa mbak?”, tanyaku heran.
“Bukan masalah tidak mau membantu suami, tapi-kan dalam islam istri itu seharusya mendidik anak, mengurus rumah, pokoknya membuat rumah jadi surganya suami. Ya tapi istri mana yang tega melihat suamiya kerja keras dan tidak mau membantu”
“Lha terus bagaimana?”
“Ya saya izin ke suami, alhamdulillah setelah debat panjang akhirnya suami meng-iyakan dengan banyak syarat juga”
“Oh begitu, ya ya ya”, mangut-mangut aku meng-iya kan.
“Mas Arsyad nggak mau tahu syaratnya?”
“he he he, unggak Mbak, kan itu urusan keluarga mbak”
Mbak Eva tersenyum, paham.
Penasaran juga sih, tapi aku tahu diri juga. Alhamdulillah sudah ada yang percaya.

“Nah yang terpenting mumpung Mas Arsyad masih kuliah, belajar yang sungguh-sungguh. Semangat juga belajarnya. Syukur-syukur dari sekarang punya tabungan buat masa depan”
“Iya Mbak, Insya Allah, ini juga lagi merancang bisnis, he he he”

Sebelum perbincangan ini larut, bus Trans Jogja nomor 3A sudah terlihat. Mbak Eva berdiri dari tempat duduknya melambai-lambaikan tangan dari pintu halte mengacungkan tangan, menunjukkan angka satu. Satu penumpang.

Trans Jogja berhenti tepat disamping halte. Pintunya terbuka lebar menyambutku. Kuambil tempat duduk di depan pintu. Kulambaikan tangan Mbak Eva. Dia tersenyum, manis diusianya yang sudah berkepala dua.



Dari Kotagede jalur Trans Jogja melewati Jalan Janti. Kemudian menuju Bandara Adi Sucipto,mengambil penumpang dari bandara. Kemudia kembali lagi melewati Jalan Solo dan berbelok ke Jalan Ring Road Utara. Dan sampailah aku di kampus. Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit. Tidak terasa dengan imajinasiku yang melayang-layang entah kemana menikmati perjalanan.

Selain menikmati lagu sambil memandangi jalanan Jogja, sering aku berbasa-basi ke penumpang lain. Bertanya tujuan, dari kampus mana, punya kesibukan apa, dan lain-lain. Syukur-syukur jika ada turis. Itu yang paling aku incar. Pasti aku kepo-in.

Hari ini kampus masuk seperti biasanya. Pukul Tujuh pagi aku sudah duduk rapi di barisan paling depan. Dosen datang beberapa menit setelah aku duduk kemudian mulai menjelaskan banyak teori dan rumus matematika.

Enakya menjadi mahasiswa baru itu punya jadwal kuliah yang ringan. Masuk kelas jam 7 pagi dan keluar jam 12 siang. Setelah itu free. Kubilang ringan karena aku tinggal di salah satu Pondok Pesantren Salaf di Kotagede.

Bangun pagi-pagi buta, jamaah sholat Shubuh, mengaji lantas mandi, sarapan lalu berangkat ke kampus. Teman-teman kampus banyak yang mengeluh soal jam pagi. Berbeda denganku yang malah senang dan bersyukur. Jadi dari pagi sudah tidak ada jam kosong lagi. Dan capeknya itu ditabung sampai malam. Menurutku, capek itu karena istirahat kemudian diteruskan lagi kerjaannya. Seperti lari marathon, teruslah berlari dan tanggung capeknya di akhir.

Keluar kelas aku bertemu dengan Vikar. Sambil jalan kita mengobrol banyak hal. Aku menceritakan poster yang aku lihat di papan pengumuman kampus. Sebuah kegiatan sedang dipromosikan.

“Mau ikut?”
“Insya Allah”
“Dengar-dengar pak rektor langsung yang akan membimbing”
“iya?”

Aku mengangguk kemudian bercerita pengarahan yang aku ikuti dua hari yang lalu. Pengarahan itu mengenai kegiatan tahunan kampus yang akan diadakan selama sebulan. Kegiatan itu bernama ‘Mahawira’. Mahasiswa ditatar selama sebulan untuk menjadi pengusaha. Mereka diberi bekal bagaimana cara memulai usaha, manajemen keuangan, meghadapi kegagalan dan yang paling seru ada kegiatan magangnya, sehingga bisa belajar langsung di lapangan. Dari magang itu diharapkan bisa menjadi batu loncatan memulai usaha. Menjadi Entrepeneur.

“Oke otw daftar”, kata vikar.

Berpisah dengan vikar di kantin aku berjalan menuju perpustakaan. Menghabiskan waktu beberapa jam dengan membaca sampai terdengar adzan Ashar. Kemudian sholat Ashar lalu pulang ke pondok.

Seperti biasa menggunakan Trans Jogja.



Kenapa keputusan tidak boleh diambil dihari senin? Karena pada hari senin banyak orang masih merasakan atmosfer weekend. Fokus seseorang masih pada nyamannya santai dirumah, berliburan dan bebas dari beban pekerjaan. Otak masih belum fokus penuh pada pekerjaan. Secara survei seperti itu. Maka jarang sekali bahkan tidak pernah ada meeting yang dilakukan pada hari Senin.

Comments

Popular posts from this blog

Wajah-Wajah Angkatan 2014, Smart Generation.

Apa Bahasa Inggrisnya "Crot"?

Kondangan mulu, kapan dikondangin?