Pengusaha Lima Milyar - Bagian 03


Pengusaha Lima Milyar, novel oleh Aqila Dzaka
Pengusaha Lima Milyar, novel oleh Aqila Dzaka
Sing penting ngaji! Walaupun anaknya seorang tukang ngarit tapi mau mengaji, ya akan pintar. Anaknya orang alim tapi tidak mau mengaji ya tidak akan pintar. Sing penting ngaji sing tenenanan!”

Abah, begitu kami memanggil beliau. Sosok berwibawa, kharismatik dan penuh dengan pancaran ilmu. Abah selalu memimpin sholat berjamaah magrib dan subuh di pondok. Selain itu akan diserahkan kepada asatidz atau santri senior.

Selepas dzikir, Abah selalu memberi wejangan dan nasehat kepada santri-santrinya. Diantar pesan beliau adalah amalan sholawat untuk Nabi Muhammad, meminta syafaatnya.

Syukur-syukur ditambah dzikir, insya Allah akan dimudahkan dalam kesulitan apapun,”

Semua yang diniatkan untuk kebaikan Insya Allah barokah. Dulu diawal pembangunan, tanah pondok ini masih kecil sekali. Kemudian pemilik tanah di belakang mau menghibahkannya. Insya Allah tanah kosong disamping pondok akan menyusul. Tanah juga ciptaan Allah. Selama tanah itu digunakan kebaikan maka akan membuat iri tanah yang laiinya. Tanah pondok ini Insya Allah barokah karena setiap hari dibuat mengaji dan bermujahadah,”

Setiap mendengar dawuh abah rasanya semangat tumbuh kembali. Hidup untuk menebar kebaikan agar barokah. Kalaupun tanah saja bisa iri dengan tanah lainnya yang digunakan untuk kebaikan, maka uang pasti juga begitu. Selama uang dibuat untuk kebaikan akan membuat iri uang yang lainnya.

“Uang itu cepat dihabiskan, agar cepat datang lagi. Manusia tidak tahu dimana mereka harus menjemput rezekinya, tapi rezeki tahu dimana tuannya,”

Magrib itu, selepas membaca Al-Quran bersama. Abah bercerita pengalaman beliau membangun pondok ini kemudian diakhiri dengan kabar gembira bahwa esok hari akan dimulai proses pembangunan asrama baru bantuan dari salah satu perusahaan negara. Dalam enam bulan proses pembangunan semua santri harus siap membantu. Aku dan temen-teman mengangguk siap.


Sudah hafal berapa nadzom kang?”, tanyaku ke Hamid, teman sekelasku.
“Alhamdulillah mau seratus ini”
Widiiih, keren-keren”
Lha sampeyan?”
he he he, baru limapuluh-an kang”
Alhamdulillah, sing penting tlaten lalaran”

Perbincangan kami selesai saat ketua kelas memulai lalaran. Kami membuka kitab kuning masing-masing. Kemudian dengan irama khas kompak melantunkan sajak-sajak.

Mengaji kitab kuning dimulai selepas Isya’ dan selesai pukul sembilan malam. Setiap malam aku mempelajari dua kitab. Alfiyah, Fathul Qorib, Ta’lim Mutaalim, Bulughul Marom dan masih banyak lagi. Yang menjadi favoritku adalah pelajaran Ta’lim Mutaalim. Bukan karena pelajarannya, tapi karena guru yang mengajarkannya punya cara yang unik. Ustadz Sukamto begitu aku menyapa beliau. Dari usianya, beliau telah banyak makan asam garam alias mempunyai banyak pengalaman. Mengajar dengan sangat jelas dan selalu menambahkan dengan kisah beliau semasa masih menuntut ilmu.

Selain mengajar di pondok, beliau juga menjadi penanggungjawab pengajian mingguan yang diisi oleh Abah.

Selepas mengaji aku kembali ke kamar. Membaca buku sambil menunggu kantuk datang. Setengah jam berlalu aku tertidur dengan buku tergeletak disampingku.


Pukul 03.00

Alarm ponsel pintarku berbunyi. Setengah sadar kumatikan bunyinya kemudian tidur lagi. Sepuluh menit kemudian alarm berbunyi lagi. Kali ini aku bangun, jengkel dengan bunyinya yang jauh dari kata nyaring dan enak didengarkan.

Kumatikan setengah sadar sambil mencoba mengumpulkan setengah yang lainnya. Kucari air minum disamping lemari yang selalu kusiapkan. Ku minum dan aku sempurna sadar. Aku beranjak ke kamar mandi, mengambil air wudlu.

Malam itu aku tenggelam dalam khusu’nya tahajud dan doa.


Kegiatan pagiku berjalan seperti biasanya. Sholat Subuh berjamaah dilanjutkan dengan wejangan Abah, mengaji bersama, mandi pagi, sarapan, menyapa Mbak Eva di jadwal kerjanya menjaga loket halte Trans Jogja kemudian berangkat ke kampus.

Dosen Aljabar Linear dan Matriks datang sebelum kelas ramai. Dosen muda yang semangat dan selalu menyemangati mahasiswanya. Beliau selalu masuk pagi hari sebelum jam mata kuliahnya dimulai. Ciri khasnya selalu membawa tiga spidol dengan warna yang berbeda untuk membantu menjelaskan perhitungan aljabar yang rumit.

Bu Ayu, begitu aku memanggil. Dosen muda yang selalu tampil cantik dan murah senyum Penampilannya selalu modis tapi sopan mengikuti tren fashion. Bu Ayu menjelaskan setiap bab dengan hati-hati, memastikan setiap dari kami paham betul. Katanya belajar aljabar itu seperti domino, satu bab saja tidak paham maka selanjutnya akan sulit diahami. Menjelaskan setiap step perhitungan dengan hati-hati kemudian membuka sesi pertanyaan.


Keluar kelas setelah mata kuliah terakhir aku mengunjungi kos tempat Vikar tinggal. Kali ini dia terlihat sibuk. Memandang fokus tidak berkedip ke layar laptop dengan jari-jari yang sibuk mengetik dan menggerak-gerakkan mouse.

Ku rebahkan diriku diatas kasur disamping Vikar. Suara lagu pop luar negeri terdengar dari speaker laptopnya.

Ku buka ponsel pintarku, mengecek notifikasi. Ada pesan dari Syta.

“Ikut makrab?”
Makrab apa?”
Beberapa menit kemudian pesan balasan muncul,
“Smar Jogja”

Membaca pesan terakhir dari Syta, kutanyakan makrab itu ke Vikar. Dia mengiyakan.

“Ini aku lagi design banner photo both
Aku ber-O panjang melirik layar laptopnya.
“Kapan mau ke tempat makrabnya?’
“Sore, kamu bareng aku aja”
“Okey”

Makrab sigkatan dari malam keakraban. Sejenis acara gathering dengan tujuan mengenal satu sama lain. Oh iya, Smart Jogja adalah sebutan bagi almamater sekolahku yang sekarang berdomisili di Yogyakarta, baik yang kuliah maupun tidak. Selain di Yogyakarta almamaterku juga banyak menyebar di berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri.

Vikar menyelesaikan designya setengah jam kemudian ketika aku sudah tertidur nyaman diatas kasurnya. Dia membangunkanku lantas mengajakku memesan banner photo both.

Kami berangkat ke tempat makrab selepas Isya’. Sedikit terlambat dari jadwal yang direncanakan karena menunggu proses pencetakan banner. Makrab Smart Jogja diadakan di sebuah villa di jalan Kaliurang. Tepatnya di daerah lereng gunung merapi. Katanya pemandangan disini indah. Sayangnya aku berangkat ketika hari gelap.

Sampai di tempat makrab, kami berdua disambut perempuan berkerudung hitam berkacamata. Dengan muka sebal dan tangan berkacak pinggang dia mendekati kami.

“Lama banget kar! Capek tauk nungguin”
“Ya dadakan sih,” protes Vikar.
“Ya udah mana bennernya?”
Kuserahkan gulungan banner ke gadis berkacamata itu.
“Emang kamu kuat bawa sendiri?”
Ya elah lebay banget bawa ginian aja gak kuat”

Namanya Risma. Satu kampus denganku dan Vikar. Aku dan Vikar kenal baik dengannya. Dia dulu yang menengalkanku dengan kampus di awal aku mendaftar menjadi mahasiswa baru. Mengajakku berkeliling kampus sambil menceritakan pengalaman dia di semester awal. Memberiku nasehat melalui ceritanya tersebut. Perempuan yang cantik, supel dan mudah bergaul.

Aku dan Vikar langsung bergabung di acara api unggun. Ada sekitar limapuluh orang yang datang mengikuti makarab ini. Malam ini semua bergantian mengenalkan diri. Duduk melingkar ditemani api unggun yang menghangatkan. Kami semua larut dalam keakraban.

Acara unggun selesai tengah malam. Ketua panitia menginstruksikan untuk beristirahat. Semua lekas beranjak menuju kamar yang sudah dibagikan. Beberapa orang masih bercengkrama.

“Kalian sudah makan?” Tanya Risma seusai acara.
“Belum, eh, ha ha ha,” jawabku dan Vikar kompak, kami kelaparan.
“Ayuk makan dulu”

Risma mengajak kami ke gedung depan. Menu makan malam kali ini nasi bungkus dengan sambal terong dan telur.

“Bagaimana kuliahmu Syad?”
“Ya seperti itu, tugas mulai menyudutkan”
“Ha ha ha, itu artinya kamu cocok dengan kampus”

Risma membuat obrolan ringan di meja makan.

“Oh ya Ris, aku kok unggak pernah liat kamu di kampus?”
“Diakan beda jurusan Syad,” Vikar menjawab. Risma mengangguk, “Beda semester juga”
Masuk akal. Aku mengangguk.
“Kar, gimana videonya?”
“Lha ini masternya ada disamping kamu”
“Memang bisa semalam jadi? Besok lho acara seminarnya, eh hari ini dink”

Risma melihat jam dinding. Sudah lewat tengah malam.

“Jangan tanya aku Ris, tanya saja orang yang ngedit”

Risma menoleh ke arahku. Aku tidak paham apa yang mereka bicarakan. Video? Seminar?

“Video apa sih?”, tanyaku.
“Video makrab Smart Jogja sebelumnya, buat nostalgia gitu,”
“eh...,” aku balik melototon Vikar.
“he he he, bisakan Syad, semalam jadi?”
Aku menghela nafas panjang.
“Sudah dipilih video dan foto yang mau dimasukkan video?”
“Santai, belum kok he he he”

Dan sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang. Malam yang indah ditemani dinginnya udara pegunungan.


Selesai menyantap makan tengah malam aku segera berkutat dengan laptop. Risma dan Vikar menemaniku, tapi mereka tidak bisa bertahan lama. Setengah jam kemudian kepala mereka tersuntuk-suntuk menahan kantuk. Ku suruh mereka tidur di kamar. Udara dingin menembus tembok.

Aku keluar sebetar. Melemaskan badan yang kaku. Syta masih terjaga. Dia duduk di teras villa mendengarkan musik dari ponsel pintarnya. Dia melihatku masih terjaga, lantas mendekatiku.

“Kok belum tidur?”
“Lagi ngedit video,” kutunjuk laptop di ruang makan.
“Video apa?”
“Smar Jogja, video makrab-makrab sebelumnya”
Syta nyelonong menghampiri laptop yang kutunjuk. Memperhatikan layarnya.

“Aku temani ya, sekalian aku juga mau belajar”
Ku lihat jam di lenganku.

“Kamu unggak tidur?” tanyaku memastikan. Dia menggeleng.

Lima menit kemudian dimulailah kesibukan kami berdua. Syta memperhatikan dengan seksama. Hanya memperhatikan tanpa bertanya sedikitpun. Satu jam berlalu Syta mulai menguap, dia menyuruhku berhenti.

“Sebentar, jangan diterusin” Syta beranjak ke dispenser. Membuat dua gelas kopi.

“Oke lanjut”
Segelas kopi di atas meja dan segelas lagi ada di tangannya mengobati rasa kantuk. Kuucapkan terimakasih lalu ku teruskan kembali pekerjaanku.

Dua jam kemudian video sudah memasuki tahap rendering. Kami ber-yee senang.

“Oh ya Syad, kata Risma, besok ada acara presentasi kewirausahaan”
“Apa itu?”
“Itu, teman-teman yang sudah mempunyai kegiatan wirausaha mempresentasikan usahanya”
“Wah bagus itu”
kataku sambil menyeruput kopi buatannya yang sudah dingin.

“Maksud aku, bagaimana kalau kamu buka jasa editing video lalu kamu presentasikan besok”
“Hmmmm, boleh juga itu, aku siapkan materinya setelah ini.”

Syta pamit ke kamar, berkata sudah tidak bisa menahan kantuk. Kantung mata hitam terlihat dibawah matanya. Dia menyuruhku istirahat dahulu. Kujawab dengan senyuman, mempersilahkannya duluan.

“Ta..,”
Dia sudah setengah jalan menuju kamarnya.
“Apa?”
“Hmmmm…” mendadak apa yang ingin ku katakan hilang dari kepala.
“Have a nice dream?”
“Iya itu, aku mau bilang itu, he he he,”
Syta tersenyum,
“Kalau tidur jangan lupa selimutan ya, dingin,” katanya kembali melangkah menuju kamarnya.


Mataku baru bisa terpejam satu jam sebelum adzan subuh. Meninggalkan laptop yang masih bekerja keras merender video presentasiku. Aku tidur diatas sofa, meringkuk kedinginan. Kuharap saat terbangun ada keajaiban, seseorang entah siapa menyelimutiku seperti film-film telenovela.

Adzan Subuh dan semilir angin dingin yang masuk dari celah-celah fentilasi membangunkanku. Keajaiban yang kuharapkan tidak datang. Adzan subuh seperti tombol on sebuah mesin. Mesin dinyalakan lantas bekerja maksimal menghangatkan tubuh. Belum satu detik setelah kesadaranku kembali, aku sudah menggigil kedinginan.

Kurapatkan jaketku lantas segera keluar villa. Hanya satu yang ada dalam fikiranku saat itu untuk mengatasi dingin yang luar biasa. Api unggun. Aku berlari ke tempat kami berkumpul semalam. Bara api masih merah menyala. Memberi kehangatan.

“Nikmatnya...”

Beberapa orang menyusulku. Senasib, mereka juga dibangunkan oleh dingin.

Merasa badan sudah cukup hangat, kuajak yang lain Sholat Subuh berjamaah. Sholat dengan menggigil karena air wudlu yang sedingin es.


Pagi hari menjelang. Cuaca cerah. Matahari mengintip dari horizon daratan tinggi lereng gunung merapi. Kabut menyelimuti persawahan dan hutan jati. Dari villa lantai dua terlihat kota Jogja berkabut.

Render video sudah selesai. Pagi itu aku jalan-jalan menyusuri jalanan lereng gunung merapi. Puncaknya yang menjulang gagah mengetarkan hati. Sungguh tidak ada apa-apanya diriku dibandingkan dengan besar dan gagahnya gunung merapi. Puncaknya terlihat mengelurkan asap.

Udaranya kuhirup sejuk. Warga setempat tanpak bersantai di depan rumah, menyeruput secangkir kopi ditemani sebatang rokok kretek.

Kususuri jalan yang diapit jurang dan tebing hijau nan indah. Saat aku asyik menggerakkan tanganku, senam kecil-kecilan, seseorang memanggilku dari belakang.

“Arsyad?”
Aku menoleh ke asal suara. Wajah yang tak asing, mengundang senyum.
“Kamu ngapain kesini?” tanyaku.
“Seharusya aku yang bilang seperti itu,”
“Ha ha ha...”

Itu Syta. Dia memakai kaos berbalut sweater biru yang berpadu serasi dengan rok dan kerudung yang dia pakai. Serba biru.

Akhirnya kami jalan-jalan bersama. Dia mengajakku ke gardu pandang. Memberitahuku bahwa disana pemandangannya berkali-kali lebih indah. Semilir angin gunung yang bertiup menyemangati. Terik matahari pagi terasa hangat.

“Aku suka sendirian,”
Syta bercerita. Kami masih berdiri diatas gardu pandang, menikmati pemandangan.
“...sendiri itu asyik, bebas kemana saja, menikmati apa saja yang kita mau, lebih santai dan hmmm...gak ada beban,”

Syta tersenyum menatapku. Aku bahagia. Begitu maksud senyum itu.

Kami beradu pandang sesaat. Aku ikut membalas senyumnya. Semilir angin menyadarkan kami berdua lantas kami tertawa. Entah menertawakan apa.

“Kayaknya kamu itu tipe orang yang suka sendirian, senang mencoba banyak hal, sabar, terus selalu mengerti orang lain dan bla..bla..bla,” kataku menebak.
“Lho kok kamu tahu sih?”
Kami tertawa bersama lagi.

Satu jam puas menikmati indahnya pemandangan gunung kami kembali ke villa. Aku dan Syta berjalan bersama sambil bercerita mengenai banyak hal. Syta yang bercerita, aku mendengarkan, tertawa dengan cerita-cerita masa lalunya.

Tidak ada yang tahu kami jalan-jalan bersama. Villa masih sepi. Mungkin yang lain masih nikmat diatas kasur villa yang empuk.

Kegiatan makrab berjalan seru. Semua kegiatan diawali dengan sarapan pagi bersama. Berbagai muka kucel bangun tidur muncul dari balik pintu kamar. Ada yang menyantap sarapan dengan selimut masih menempel dibadan.

Selesai sarapan, mandi dan macam-macam untuk mempercantik diri kami semua berkumpul di aula villa. Acara dilanjutkan dengan presentasi kewirausahaan dari teman-teman yang sudah memulai bisnis. Ada yang mempunyai usaha produksi sandal, lalu ada usaha konveksi, cafe, makanan ringan, bahkan Risma yang semalam mengajak makan juga ikut mempresentasikan usahanya di bidang jasa pembuatan undangan digital.

Aku berada diurutan terakhir. Mempresentasikan jasa edit video dan cinematografi lewat video yang kubuat semalam. Video singkat yang kemudian disusul dengan sepuk tangan riuh dari teman-teman. Mataku tertuju ke Syta yang duduk di barisan depan. Mengangkat jempolnya.

Acara dilanjutkan dengan seminar motivasi. Semua orang antusias menyimak pembicara. Bahkan acara seminar sampai melebihi waktu yang dijadwalkan.

Selesai acara seminar teman-teman Smart Jogja diperbolehkan pulang. Jabat tangan dan kata saling menyemangati mengiringi satu persatu rombongan yang pulang.

“Kapan mau pulag Syad?”
Seorang laki-laki dengan jaket warna merah menghampiriku, bertanya.
“Aku pulang bareng Vikar”
“Oh begitu, nanti aku ada proyek prodi kampusku, bantuin ya,”
“Proyek?”
“Prodi minta dibuatkan video,”
“Oalah, Insya Allah, kapan itu?”
“Bulan depan mungkin. Nanti aku beri kabar lagi, urusan budget gampang deh
Et-dah, belum juga apa-apa Yu, udah diomongin budget aja”

Tiba-tiba suara Syta terdengar memanggil,
Bang Wahyu sini!”
Aku dan Wahyu menoleh ke arah suara.
“Sebentar dik Syta, lagi bisnis ini,”

Bang? Dik?

Aku dan Wahyu tertawa. Dia lekas menyudahi obrolan, mengucapkan terimakasih dan berlari menuju photo booth.

Syta melambaikan tangan kearahku, ikut mengajakku. Ku lambaikan kedua tangan sambil tersenyum, tidak usah. Belum sempat Syta menunjukkan muka jengkelnya, si fotografer sudah marah-marah menyuruh bergaya.

Sore itu aku ikut berfoto bersama tim sukses makrab Smart Jogja. Video yang ku kerjakan semalam disukai teman-teman Smart Jogja. Video diputar setelah seminar sebagai tanda perpisahan sementara.

Benar kata pepatah bisnis,” Sharing-sharing dahulu, baru selling-selling”

Menjelang magrib rombongan terakhir pulang. Sampai di kos Vikar lekas aku berkemas dan pulang menggunakan Trans Jogja. Malam ini jadwal pak Sukamto mengajar. Aku tidak boleh terlambat.

Comments

Popular posts from this blog

Wajah-Wajah Angkatan 2014, Smart Generation.

Apa Bahasa Inggrisnya "Crot"?

Kondangan mulu, kapan dikondangin?