Sebuah cerpen berjudul "Matahari,"


Matahari, cerpen karya Aqila Dzaka
Sebuah cerpen berjudul, "Matahari"
Namaku Arsyad. Aku mahasiswa Teknik Informatika di sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Aku alumni sebuah pesantren ternama (juga) di Jawa Timur. Tak ada yang istimewa dariku karena aku sendiri tak pernah menganggap diri ini istimewa. Kalaupun ada dari kalian yang bilang aku istimewa itu adalah kekurangan kalian yang melihatku, bukan keistimewaanku.

    Tidak ada yang istimewa dari manusia.

    Itu pemahaman yang selalu kubawa kemana-mana, menjadikanku seorang yang…,bisa kalian tebak? Seseorang yang selalu haus. Setiap aku melihat orang dengan sejuta kelebihan, itu bukan keistimewaannya, tapi itu adalah kekuranganku. Jika aku kurang maka aku bukanlah manusia, karena manusia diciptakan penuh dengan kesempurnaan. Maka, aku selalu haus akan banyak hal. Begitu juga dengan Teknik Informatika.

    Tapi, kisah ini bukanlah tentang aku, keistimewaan, ataupun tentang Teknik Informatika. Kisah ini tentang Matahari.



    Iya Matahari.

    Sekiranya sudah hampir 5 tahun aku tak pernah merenungi benda atau makhluk bercahaya di langit itu. Terakhir kali ketika aku begitu terpana dengan gerhana totalnya dan sejuta pemahaman muncul dari gerhana itu. Lebih tepatnya kisah dengan gerhana total.

    Hari ini, ketika sampah-serampah kata-kata gunjingan kutujukan pada diriku sendiri karena tak memahami sedikitpun materi kalkulus. Kuputuskan meminjam buku di perpustakaan lantas menyendiri di tempat favoritku di lantai 4 gedung perkuliahan, memaksa diri tenggelam dalam angka dan grafik-grafik kalkulus. 

    Lengkungan dan grafik mulai aku pahami bersamaan dengan Matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Aku mulai melamun dan menyadari sesuatu dari tempatku duduk. Mataku tak berkedip memandang cakrawala yang indah. Senja langit Yogyakarta dan Matahari yang kudengar berbisik dari semburat cahayanya yang semakin redup.

    Ku tutup buku kalkulus dan mengambil pensil mulai menulis bisikan sang Matahari.

    “Ya Allah betapa hamba buta sekali dengan makluk-Mu yang begitu taat dengan sholawat dan dzikir lewat cahayanya ini” bersama guman takjupku, tulisan ini terus mengalir.

Senja begitu indah di Yogyakarta. Jalanan ramai dengan mereka yang pulang dari peraduan nasib. Menuntut ilmu atau menguras peluh mengais titipan ilahi berupa rupiah. Jalanan semakin gelap, dari cakrawala pula bisa kulihat dan kurasakan Matahari semakin berat untuk bertahan di ufuk barat. Sampai akhirnya magnet Gravitasi berbisik kepadanya,

    “Sudahlah kawan, jangan lagi kau sia-siakan energimu itu untuk menerangi manusia,bisa kau lihat dari atas sana banyak manusia yang lupa akan siapa sebenarnya dan untuk apa mereka hidup. Sombong dengan kesempurnaan mereka. Sudahlah kawan kau istirahat saja. Sekarang adalah jam istirahatmu,” Seru Gravitasi sambil menarik paksa Matahari agar lekas bersembunyi di balik cakrawala.

    Selalu indah fenomena itu, ketika kebaikan dan pendirian bertahan dari segala godaan untuk menyerah. Kau bisa lihat kawan, bagaimana kita hanya bisa terkagum-kagum melihat kawan-kawan kita dengan pendirian dan cinta buta mereka mempertahankan apa yang mereka pegang. Dan dari tempatku melihat, keindahan pendirian Matahari nampak di semburat cahaya senjanya yang semakin terang, membuat terkagum-kagum.

    Apakah benar ini cinta butamu Matahari?

    Tapi apalah arti keindahan. Itu bertahan hanya sebentar saja. Tenggelam? Belum! Matahari belum tenggelam, dia masih bertahan di garis cakrawala namun dengan keraguan. Bisikan Gravitasi menyadarkannya, ia mulai berfikir dengan logikanya, membuang jauh cinta buta dalam hatinya,

    “Benarkah cintaku ini hanyalah cinta buta tak berpendirian? Cinta yang salah? Sehingga aku menyadari bahwa dengan sinar sholawat dan dzikirku ini manusia lebih banyak yang menumpahkan darah daripada menebar kasih sayang dan kebaikan?” Matahari ragu dengan firasatnya.

    Ku tatap dari tempatku duduk, sinar Matahari semakin redup. Jantungku berdetak kencang. Entah kenapa aku takut, tanganku masih lancar menulis, seperti jelas menceritakan keraguan sang Matahari. Aku takut, entah ketakutan apa ini? Apakah seperti ini akhir dari pagi nan indah? Apakah akhir dari cinta sang matatari adalah sebuah keputusasaan dan penyesalaan? Seperti inikah akhir hari selama 5 tahun ini? Seburuk inikah dunia dengan prasangka buruk? Pertanyaan ini mengundang rantai ledakan hebat, membuatku merinding semakin takut.

    Tapi sesuatu mengejutkanku, Membulat mataku memandang cakrawal ketika Matahari di detik akhir memancarkan cahaya yang begitu indah. Terangnya membuat langit-langit memerah.     Merah? Iya merah. Merah penuh rasa malu dan iri kepada Matahari.

    Sedetik yang lalu, sebelum prasangka itu mengakhiri hari yang selalu indah dan penuh berkah, Matahari tahu dan sadar bahwa ia salah. Ia tak patut mengakhiri keberkahan hari ini dengan prasangka dan fikiran bodoh ini. Ia memutuskan mengintip sekali lagi, menyemburatkan cahaya terakhirnya dan menemukan bukti bahwa prasangka buruknya itu salah. Ini bukan cinta buta. Ini cinta yang tulus.

    Dan cahayanya semakin terang indah tak terperi membuat langit-langit memunculkan mega kemerah-merahan, malu dan iri kepada Matahari yang teguh dengan cintanya.

Kalian tahu kawan apa yang membuat Matahari tahu bahwa cintanya bukanlah cinta buta?

    Saat semburat mega kemerehan itulah kalian akan mendengar gema adzan bersahut-sahutan. Berlomba memberi semangat dan berterimakasih kepada sang Matahari atas sinar sholawat dan dzikirnya sepanjang pagi. Gema adzan yang memanggil barjuta orang untuk ikut meneruskan cahaya sholawat dan dzikir Matahari untuk Allah lewat sujud dan doa-doa. Biarlah di pagi dan siang  hari manusia sibuk dengan banyak hal, biarlah hanya sebagian mereka yang meneruskan sinar sholawat dan dzikirnya dikirimkan kepada Allah lewat niat dan pekerjaan mereka yang lillahita’ala. Biarlah semua itu, namun ketika adzan magrib terdengar, semua orang akan paham bahwa mereka harus pulang dan sadar bahwa di dalam tubuh mereka--yang membuat mereka berpeluh ria mengais rezeki adalah cahaya sholawat dan dzikir Matahari.

    Dari tempatku menatap bisa kurasakan itu, dua kali, bukan, tiga, lima, ah sudahlah tak terhitung lagi saat magrib menjelang jumlah orang meneruskan cahaya sholawat dan dzikir terakhir Matahari untuk dikirimkan kepada Allah. Tua, muda, kaya, miskin, laki-laki, perempuan semuanya berbondong.

    “Ah betapa bahagianya kau wahai Matahari,” gumanku tersenyum masih menulis kisah ini.

    Di akhir keraguan Matahari dan Gravitasi yang masih menggodanya. Matahari melirik kearah sautan-sautan itu. Gema adzan yang menyadarkan. Ia mengenali suara itu. Iya, suara yang merdu yang tak tertahankan hebatnya, suara yang cukup baginya untuk bertahan dari segala godaan, suara yang cukup baginya untuk menangis dan memohon kepada Allah agar esok bisa kembali lagi mempersembahkan cahaya sholawat dan dzikirnya. Suara yang meneguhkan keyakin Matahari dan mememberinya pemahaman mutlak akan siapa yang dicintainya, akan siapa yang selalu ia elu-elukan bersama cahaya sholawat dan dzikirnya, akan siapa yang selalu membuatnya iri dari atas sana. Akan siapa yang bisa merasakan cinta dari cahayanya di pagi hari sampai sore hari.

    Pemahaman itu ia peluk erat bersama keyakinan, tepat ketika Gravitasi telah menyembunyikannya di balik cakrawala, sepersekian detik sebelum akhirnya hilang, saat gema adzan di bait terakhirnya. Bisa kudengar Matahari berbisik dalam hatinya lewat tulisanku.

    “Ya Allah, betapa indah bumi ini Engkau ciptakan. Aku hanyalah cahaya dan engkau adalah Pemiliknya, Engkau cahaya diatas cahayaku, Raja dari segala cahaya.”

    “Engkau ciptakan dunia sempurna dengan isinya, Kau tambah lagi kesempurnaan itu dengan kehadiran mereka yang selalu ku iri karena bisa lebih sempura bersujud dan mengabdi kepada-Mu. Merekalah manusia”

    “Ya Allah, aku hanya bisa iri melihat mereka, manusia yang Engkau ciptakan. Sempurna dengan segala keistimewaan mereka. Bisa bersujud, berdzikir, sholawat, bersedekah dan segala hal yang bisa mereka lakukan untuk mencintai-Mu. Maka sudah jauhlah aku dari kesempurnaan jika dibandingkan dengan mereka. Jauh sekali. Engkau sama sekali tak membutuhkan cahayaku, maka apa yang bisa kupersembahkan kepadamu sebagai baktiku, bukti cintaku kepada-Mu? Maka kuharap cahaya yang kuselipi sholawat dan dzikir untuk manusia ini bisa mereka teruskan kepada-Mu lewat sujud-sujud mereka di waktu dhuha, dhuhur ashar ataupun dari puasa-puasa mereka yang Engkau janjikan amat berpahala dan kembali kepada-Mu, ataupun lewat peluh mereka yang ikhlas berjuang dijalan-Mu menuntut ilmu maupun menghidupi keluarga-keluarga mereka dengan rezeki yang halal,”

    “Aku tahu Gravitasi benar, jika cintaku untuk manusia adalah cinta yang buta. Aku tak pandang buluh memancarkan cahaya sholawat dan dzikir ini kepada siapapun. Sampai pada mereka yang buta kepada-Mu atas kesempurnaan yang mereka miliki, tak meneruskan sinar sholawat dan dzikir ini kepada-Mu, juga aku sinari”

    “Tapi biarlah, aku tahu tak ada iman dan ibadah yang sempurna, kesempurnaan sejati hanya milik-Mu, karena aku yakin sebaik-baik pengetahuan adalah milik-Mu dan sebaik-baik kebijaksanaan adalah kebijaksanaan-Mu. Hanya Engkau yang berhak menilai apakah cahaya sholawat dan dzikir ini sudah menjadikanku berhak atas ridho-Mu”

    “Jika Engkau perkenankan aku kembali esok, lusa atau seterusnya dan kembali memancarkan cahaya ini kepada manusia agar diteruskan kepada-Mu, maka aku sangat bersyukur. Namun jika benar kabar bahwa aku layaknya manusia yang hanya berkesempatan hidup sesaat di dunia, bahwa tak ada Matahari yang bisa kembali memancarkan cahaya di kemudian hari dan digantikan dengan Matahari yang lainnya, maka cukuplah pemahaman dan kesyukuran ini untuk menggapai ridho-Mu. Surga dan neraka tak penting bagiku. Aku Matahari, aku lebih berharap ridho-Mu,”

    Hening.

    Dunia sudah gelap. Suara adzan sudah digantikan oleh iqomah. Jemari ini kelu dan mendadak berhenti menulis. Masih tersisa getarannya.

    Kuletakkan pensilku, menghela nafas panjang. Kosong. Tak ada yang kufikirkan. Mata ini menatap sekilas tulisanku. Menghela nafas panjang lagi. Menyadari sesuatu.

    Kuputuskan untuk turun. Sudah gelap, waktunya pulang. Aku berdiri lalu mengambil buku kalkulusku, membersihkan sampulnya yang kena debu. Berjalan gontai menuju tangga.

    Barusaja kaki ini menapaki satu anak tangga sesuatu mengusik fikiranku, mengundang senyum. Aku berbalik memandang cakrawala yang gelap mulai dihiasi bintang.

“Apakah bintang-bintang itu juga punya kisah sepertimu, Matahari?”

Comments

Popular posts from this blog

Wajah-Wajah Angkatan 2014, Smart Generation.

Apa Bahasa Inggrisnya "Crot"?

Kondangan mulu, kapan dikondangin?