Pengusaha Lima Milyar - Bagian 04
Pengusaha Lima Milyar, sebuah novel karya Aqila Dzaka |
Atmosfer kebersamaan
acara makrab masih terasa. Grup chating Smart Jogja ramai
bernostalgia. Apalagi setelah foto-foto kegiatan diunggah. Grup
semakin ramai dengan gosip cinta-cintaan.
Bersamaan dengan itu, kegiatanku berjalan seperti biasa. Berangkat kuliah bersemangat disambut
dengan dosen yang bersemangat juga, malam hari mengaji kitab kuning dan
lalaran.
Beberapa
hari yang lalu setelah dzikir subuh, Abah memberi nasehat,
“Kalian
ini santri tapi juga mahasiswa. Yang saya takutkan bukan kalian
berubah penampilannya, memakai celana jins, celana pendek,
tidak berpeci, meninggalkan sarung. Tapi kalian yang berubah
akidahnya. Insya Allah penampilan apapun jika jiwa santrinya masih
ada, barokah,”
“Amin,”
kompak semua santri mengamini.
Seperti
biasanya kuhabiskan pagi hari minggu dengan lari pagi. Pagi ini aku
menghabiskannya di Alkid, Alun-Alun Kidul.
Melemaskan otot kaki dengan beberapa putaran mengelilingi alun-alun
dilanjutkan dengan sarapan bubur. Nikmatnya.
Pagi-pagi
aku sudah di Alkid. Kupasang earphone dengan playlist musik
kesukaanku dan mulai berlari.
Alkid
sesalu ramai dihari minggu. Selain banyak yang lari pagi ada juga
senam sehat bersama yang tak kalah ramai. Cukup datang lalu mengikuti
gerakan instruktur, berkeringat dan memberikan uang seikhlasnya.
Pedagang
kaki lima tumpah ruah di trotoar alun-alun. Ada penjual bubur ayam,
lontong, kupat tahu, soto ayam, siomay dan berbagai makanan ringan
lainnya. Pagi itu cuaca cerah sedikit berangin. Mentari bersinar
dengan sinar sehatnya membuat keringat deras mengalir. Angin yang
mulai bertiup menguapkan keringat dengan cepat.
Lima
putaran tidak terasa dengan musik favorit yang kudengar. Kaki-kaki
bergerak sendiri menyesuaikan irama lagu. Lima putaran sudah membuat
bajuku basah dengan keringat.
Tiba-tiba
seseorang melepas earphoneku.
“Woooh
keenakan denger lagu ini anak, dipanggil gak jawab,”
“Eh,”
Aku
menoleh ke sumber suara. Setengah detik beradu pandang dan ingatan
memberitahu siapa sosok itu.
“Eh
Ria, ngapain disini?” tanyaku.
“Ngemis,”
Jawabnya dengan senyum hangat.
Aku
tertawa,”wah tidak ada receh, ha ha ha,”
Sudah
dipastikan akhirnya kita lari bersama. Peluh keringan juga membasahi
kerudung yang membalut kepalanya.
“Sendirian
aja nih?”
yang
kutanya mengangguk.
“Oh
iya kan jomblo, he he he”
Candaanku
langsung mengundang tangannya memukul. Gesit aku menghindar.
“Okey-okey,
aku juga sendiran kok, sama-sama jomblo”
“Tuh
kan, sesama jomblo gak boleh saling mengejek, tahu diri”
Kami
sarapan bersama. Sama-sama memesan lontong sayur dan segelas es
jeruk. Aku dan Ria menikmati sarapan di dekat pohon beringin.
Sambil
menikmati sarapan, Ria bercerita tentang kesehariannya. Ternyata dia
tinggal di pesantren tahfidz. Sekalian kuliah dia juga menghafal
Al-Quran.
“Lah, kalau jalan-jalan sama yang bukan mahrom nanti hilang donk
hafalannya”
“Yeee,
biasa aja kali, orang cuman temen kan”
Tidak
hanya di Alkid, Ria juga sering lari pagi di tempat lain. Sekali dua
kali di Sunmor UGM, Stadion Mandala Krida, Jogja Expo Center. Tapi
yang paling sering di Alkid.
“Kenapa?”
“Ya
suka aja sama suasananya”
Ria
gadis yang manis. Tinggi semampai. Tidak gemuk dan juga tidak kurus.
Pas untuk ukuran gadis berumur duapuluhan. Pagi itu dia memakai
celana training longgar berkaret kaos dengan kerudung sedada menutupi
lekuk tubuhnya. Modis dan sopan. Matanya indah menawan tertutup
kacamata. Hidungnya bangir lurus. Pipinya bak pinang sempurna
terbelah dua, simetris memantulkan keindahan hidungnya. Bibirnya
kecil kemerahan tanpa lipstik, indah menawan dengan suaranya yang
lembut. Keindahan itu ditemani deretan gigi putih berbehel membuat
senyumannya unik memanjakan mata yang memandang. Satu lagi perhiasan
dari senyum itu adalah lesung pipi kirinya.
“Syta
kemarin cerita soal kamu,”
“Syta?
Cerita soal aku?”
“Iya,
kalian lagi deket ya? Atau kamu yang PDKT?” tanyanya menyelidik.
“ha
ha ha, mulai dech gosip-gosipannya, hati-hati hilang lho hafalannya
gara-gara gosip”
“Yeee,
ini kan ada orangnya, mana ada gosip”
“Aku
aja baru kenal Syta kemarin, masak udah deket aja, kamu tuh yang lagi
deket sama Wahyu. Ya kan? Ngaku”
Muka
Ria berubah merah, malu. Nah ketahuan sekarang.
“Tuh
kan merah mukanya, bener berarti”
“Waktu
makrab kemarin kamu pulang sama rombongan terakhir ya?”
Aku
mengangguk.
Ria
tambah tersipu. Aku masih ingat kejadian di perjalanan pulang setelah
makrab. Dan selajutnya sudah jelas Ria bercerita kisahnya dengan
Wahyu. Bahkan sebelum aku datang ke Jogja, cerita cintanya sudah
melegenda. Sesekali dia meminta pendapat kepadaku. Menyuruhku
berpura-pura menjadi Wahyu.
Ternyata
urusan cinta memang susah dimengerti.
Ria
pandai bercerita, atau memang sudah menjadi kepandaian wanita untuk
bercerita dan harusnya laki-laki pandai mendengarkan kisah mereka.
Detil dia bercerita sampai kita tiga kali berganti tempat dan tiga
kali kita membeli makanan. Serasa aku menonton film kisahnya.
Tersenyum-senyum membayangkan.
Obrolan
kami selesai saat adzan dhuhur terdengar. Suara adzan yang memekakkan
telinga menyadarkan kami berdua jika matahari sudah terik di sing
hari. Sama-sama menimati, sama-sama tidak sadar dan sama-sama saling
menertawakan. Kok bisa ya?
“Kalau
mau jogging disini ajak-ajak ya,”
Ku
acugkan jempol. Ria membalas dengan senyuman kemudia melambaikan
tangan, memacu motornya segera pulang.
…
Tentu
kalian tahu kedekatan seseorang bisa dilihat bagaimana cara dia
memandang. Itu yang membuatku menyimpulkan ada sesuatu antara Ria dan
Wahyu. Dan tentu keberuntungan dari tebakan yang benar.
Sepulang
makrab Ria pulang bersama Wahyu. Mereka akrab mengobrol sepanjang
perjalanan. Bahkan paling ramai diantara yang lainnya. Sepanjang
acara makrab mereka juga selalu bersama.
Cerita
antara Ria dan Wahyu mungkin akan sedikit rumit. Begitu juga dengan
sapaan bang dan dik antara Syta dan Wahyu.
...
Comments
Post a Comment