100 Dreams-Impian Ke-02; Aku dan Kesenian.
Mungkin
kalau aku sekarang terjun keluar lalu berjalan-jalan, aku akan
menjadi patung es.
Hari-hari
musim dingin kulewati dengan berdiam diri di kamar, merenung dan
sedikit berimajinasi di dekat perapian. Kalaupun bosan aku lebih
memilih untuk sesekali membuka Al-Quran dan membacanya murottal
agar tak terlalu bosan. Meski begitu kadang hati ini masih saja
terkalut sepi, seakan meronta mencari seseorang yang mau menemani di
musim dingin yang terasa menyakitkan.
Di
London aku kuliah. Mengambil jurusan kesenian, lebih tepatnya seni
lukis dari sekian banyaknya hal-hal yang pernah ku coba. Aku banyak
belajar dari sini, tak hanya kemampuan untuk menggoreskan tinta-tinta
di atas kanvas namun, aku juga banyak belajar tentang jiwa yang
dingin, selalu menghayati di setiap goresan. Seakan di setiap
garisnya terdapat sebuah makna yang tersembunyi. Kau tahu sobat?
bahwa satu gambar menggambarkan beribu-ribu huruf dan kata-kata?
”Subhanallah” lantas kata itulah yang selalu ku ungkapkan
setiap mengunjungi pameran lukisan dan mengetahui arti yang tersirat.
Entah Michelangelo, Leonardo Da vinci dengan Monalisa dan Last
Supper-nya, Rembrandt Van Rijn dengan Potrait of Man-nya, Paul
Cezanne dengan Still Life with Jug and drapery-nya. Terasa amat
menakjupkan bila kau mau untuk sejenak merenungi makna yang tersirat.
Namun, ada karya-karya yang lebih ku anggap menakjupkan. Yaitu
karya-karya muslim di Timur-Tengah. Masjid-masjid yang dulu pernah
kukunjungi, di setiap goresan warna temboknya berkharismatik tinggi.
Rentetan kaligrafi yang amat mengesankan berpadu dengan warna kontras
seakan permata yang tak ternilai dengan uang.
Banyak
sekali yang telah ku rasakan dan kudapat di hidup ini, bak keasinan
garam di laut. Mungkin itulah aku sekarang. Seakan waktu benar-benar
mendidik dan menyusun karakterku. Karna ku tahu setiap apa-apa
saja cobaaan yang pernah ku dapat selama tak membuatku mati,
itu akan membuatku semakin kuat dan tegar.
“Akhhhhh”
keluhku
bosan, tak ada yang bisa ku lakukan.
”Kenapa
orang
Indonesia begitu takut akan dingin ya? atau itu hanya perasaanku
saja?” keluhku dalam hati,meringkuk di depan perapian.
Aku
diam sesaat memperhatikan kobaran api, percikanya seolah obat bius
yang menidurkan kesadaran, menerbangkanku
ke kenangan masa lalu yang amat indah. Itu
ketika
aku pertama
kali
melihat atraksi dan festival kembang api bersama seseorang yang kini
sesekali
datang menghiburku
di kesunyian.
Indah
dan menakjupkan tak terperi di hati.
Kuangkat
diriku dari sofa, berjalan berkeliling menjauhi perapian sembari
berfikir sebuah kegiatan yang menghilangkan penat dihari ini dan
hari-hari esok. Aku keluar, berkeliling di setiap lantai apartemen,
berharat menemukan teman bercurhat dan berbagi rasa. Lama berjalan
berkeliling aku terhenti di sebuah pintu kamar. Ku
tatap pintu itu lamat-lamat, antara keraguan dan hasrat semuanya
bertempur di hatiku. Antara datang mengetuk atau lekas pergi mencari
hal lain yang lebih bisa dilakukan. Aku memejamkan mata menghela
napas mencoba mengetuk. Tapi apalah aku terlalu pengecut menarik
kembali lantas memilih
lekas pergi. Tapi baru lima tapak kakiku melangkah tiba-tiba saja
hasrat itu menguasai seluruh hatiku menjadikan tapak kakiku kembali
ke pintu. Dari
tempatku berdiri tanpak
terkunci rapat namun sayup-sayup kudengarkan suara murottal
Al-quran yang menggema. Ku tarik nafasku, memantabkan keyakinan dan
niat untuk bertamu.
“Assalamualaikum”
Kuiringi ketukan tanganku dengan salam yang hangat.
Tak
lama suara kunci yang berputar terdengar, sebuah tanda bahwa
seseorang yang ku harapkan ‘ada’ dan sekarang membuatku
kehilangan sepertiga dari keberanian. Pintu perlahan terbuka, sosok
anggun dengan kerudung toska sedada yang membungkus kepalanya
menyisakan lingkaran wajah yang amat merona bersinar. Ia tersenyum
simpul, memperlihatkan sedikit deretan gigi yang bersinar dan ku
yakin sebuah senyum untukku.
”Wa’alaikum
salam, eh Arsyad, tumben kau kesini, ayo masuk” sosok itu membuka
pintu lebar-lebar, mempersilahkan diriku untuk masuk.
Aku
mengikuti langkahnya lalu duduk diatas sofa coklat yang berornamen.
Ia menghilang di balik tirai di ujung ruangan. Kepalaku mangut-mangut
menikmati suasana ruangan yang tersirat. Sejenak kagum mengiri dengan
apa yang kulihat, mahal dan langka untuk di perlihatkan di
musium-musium. Beberapa saat kemudian ia muncul dari balik tirai
dengan membawa sepiring roti dan dua gelas teh. Aku tersenyum
melihatnya berbasa-basi bilang tidak usah merepotkan padahal juga
mau.
“Ini
teh hijau, kamu pasti suka, ibu yang mengirim kemarin, ia bilang
untuk memberikan sebagian untukmu” ucap sosok itu lalu duduk. Aku
mengangguk lalu menjulurkan tangan meraih gelas jatahku. Seteguk, dua
teguk kurasakan mengalir menghangatkan tenggorokan, airnya yang
hangat cocok di cuaca yang tak bersahabat seperti ini.
“Hmmmm…..ini
lezat, suatu saat nanti mungkin kamu bisa membangun kedai teh dan
kuyakin bakalan laris, serius” kataku kuletakkan kembali gelas itu.
“Thanks
this life is enough for me, kau selalu pintar memuji Arsyad,
saranmu soal bisnis selalu hebat lagipula kedai baju muslim yang dulu
kau sarankan kepadaku kini Alhamduliilah pengunjungnya semakin
banyak, mungkin kelak akan banyak orang-orang yang kembali ke jalan
yang benar.”
Aku
diam sejenak mendengar kalimat yang terlantun dari bibirnya. Sedikit
sadar akan sebuah ukhuwah yang kuat diantara muslim di sini.
Memang tak enak menjadi seorang minoritas namun itulah yang akan
membangkitakan semangat untuk terus berjuang.
“Aminnnnn”
ku jawab dengan doa, sebuah rasa optimis memanggang hati ini untuk
ikut bermimpi.
Kau
tahu sobat siapa gerangan sosok itu? dialah Aline. Gadis yang
pertamakali ku temui di sini. Sosok yang dulunya amat menggambarkan
perempuan Inggris. Berilmu dan kharismatik. Tatapannya yang selalu
tajam menerkam mata yang memandangnya. Menundukkan sesirat cahaya di
mata seseorang yang beradu pandang dengannya. Hidungnya yang mancung
mengaungi bibir kecilnya yang tanpak biru membeku, seakan bergincu.
Bibirnya kecil selalu tertutup rapat menyembunyikan deretan gigi yang
putih dan rapi di setiap senyum. Pipinya yang amat merona berkilau
seakan memantulkan setiap cahaya yang datang. Kulitnya
putih, seakan salju dan sehalus pasir di padang pasir. Matanya biru
mengagumkan, bahkan terlihat amat antik dengan alis yang lurus namun
tebal hitam. Mungkin dia jarang tersenyum, namun di dalam matanya
banyak tersirat kebahagiaan. Kurasa ialah gadis London yang paling
berkesan di hatiku yang pernah ku temui. Dingin sedingin suasana yang
selalu bisa mengalahkan panasnya amarah dan gelisah di hati. Ialah
lautan biru dengan palungnya yang dalam menembus bumi, menenggelamkan
setiap masalah yang ia hadapi. Namun ia juga terkena penyakit lupa
yang sangat akut sampai sebesar cemoohaan dan semua hal yang pernah
ia rasakan pedih di hatinya,
terlupakan
begitu saja tak pernah terbekas.
Berbeda
sekali dahulu,ketika pertama kali aku bertemu dengannya di sini.
Rambutnya yang merah delima selalu menakutiku ketika ia datang
mengetuk pintu untuk mengucapkan selamat pagi. Baju dan busana yang
amat sekali minim menutupi lekuk tubuhnya. Seandainya aku tak sabar,
mungkin sudah habislah diri ini dengan ya sebut saja cobaan dalam
pandangan. Kata-katanya yang selalu kasar meluncur begitu saja
kepada semua orang yang ia tak sukai. Dan akupun pernah bercek-cok
dengannya dan merasakan bagaimana digunjing seseorang yang hatimu
sendiri tidak tega untuk membalas.
Kalaupun
itu ku ingat kembali, pastilah sejumput penyesalan akan tumbuh dan
mengakar di hati, betapa bodohnya aku mengikuti watakku yang amat
menyebalkan. Selalu saja takut dengan seorang gadis. Sampai sering
sekali ketika Aline bertingkah pastilah aku yang akan menjadi imbas
teguran dan amarah orang-orang sekitar. Dan selalu saja aku tak tega
untuk menahannya untuk melakukan hal-hal yang jelek.
Tapi
janji Allah memanglah benar dan Ia tak akan pernah mengingkari
janji-janji-Nya. Sampai akhirnya apa yang selama ini selalu
kuselipkan untuk dilantunkan di setiap doa dan tangisanku di tengah
malam, itu benar-benar terwujud. Sebuah nikmat terbesar untuk Aline.
Iman dan Islam yang selalu dirindukan setiap makhluk di dunia.
Dari
sanalah awal jalan terang dimana dan kenapa jawaban atas pertanyaan
kenapa selama ini hati selalu tak tega untuk menyakitinya. Yaitu di
balik keruhnya hati, jiwa dan kelamnya masa lalu yang pernah ia
ceritakan kepadaku, disana ada cahaya dan senyuman. Suara hati kecil
yang selalu di rindukan. Suatu saat akan ku ceritakan,suatu saat
nanti sobat.
“Kau
tak ada kesibukan hari ini?” Aline memecah kesunyian. Aku
menggeleng. Lantas merebah disofa menatap langit-langit, membayangkan
sesuatu.
“Pyuhhh...dingin
line”aku jujur, lesu.
“Mau
gimana lagi? inilah musim dingin, kalaupun tidak dingin bukan musim
dingin namanya” sahutnya cekikikan. Aku balas tersenyum.
“Yachhh....,
kalau itu, bayi yang baru lahir juga tahu Line...” Balasku
bercanda.
Aline
menutup mulutnya, berusaha menyembunyikan deretan senyum yang indah.
“Hi...hi..hi..,
lantas kenapa mengeluh? syukuri sajalah”
aku
menghela nafas panjang, duduk tegap kembali ke posisiku pertama kali.
Aku menoleh keluar jendela. Salju masih turun. Sayup-sayup suara
jalanan ikut terdengar.
“Cuaca
seperti ini sering membuatku melamun dan membuatku kangen dengan
rumah, aku jadi ingin pulang.”
“Arsyad-Arsyad,
tinggal pulang saja apa susahnya? kalaupun kau tak punya uang aku
bisa pinjami kok”
Aku
diam tak menjawab. Memandang sayu Aline. Tiba-tiba tangisku ingin
pecah, masih bisa kutahan untuk tak menunjukkan kesedihan yang larut.
“Lupakan
sajalah!”
Begitu
banyak hal kusembunyikan dari Aline. Lama hidup ini mengajarkan
banyak pengalaman dan lama itu pula aku tak pernah mempercayai
seorangpun. Walau kutahu bahwa aku sangatlah rapuh di kesendirianku.
“Hmms.....,
bagaimana kalau bercerita saja? mungkin itu bisa sedikit membuat
suasana di sini lebih terasa berisi.” Saran Aline mengalir.
Aku
mendongak lalu sebentar berguman.
“Boleh
juga, lagipula selama ini kamu yang selalu bercerita”
“Soal
itu jangan di pikirkan, niatkan saja untuk mengisi kekosongan,
lagipula
aku bercerita karena memang butuh teman untuk berbagi, sudah
seharusnya wanita seperti itu, iya kan?”
“Baiklah,
kalau yang itu terserah kau sajalah ha ha ha...,tapi aku tak punya
cerita yang bagus”
“Ceritakan
saja pengalaman-pangalamanmu yang paling mengesankan atau tentang
daftar cita-cita yang pernah kau ceritakan kepadaku” Aline terlihat
lebih girang, senyumannya memberikan sejuta implus di hati untuk
tetap tinggal.
Aku
setuju lalu diam sejenak memutar kembali kaset-kaset usang yang
tersusun rapi di memoriku. Mungkin pada detik ini musim dingin akan
sangat berhikamah padaku, yaitu sebuah kisah kejujuran dan kesabaran
untuk menerima apa yang telah di berikan oleh Allah. Dan mungkin
Aline-lah orang pertama yang akan tahu seberapa dalam lautan nikmat,
palung cobaan serta rumitnya labirin-labirin kehendak Allah bagi
setiap insan. Seperti apa yang kurasakan selama ini.
”Selamat
mendengarkan Aline, semoga kau menikmatinya” Ucapku dalam hati
mengawali cerita.
bersambung....
Selanjutnya: Impian Ke-03; Grand Canyon Desaku
Comments
Post a Comment