100 Dreams-Impian Ke-03; Grand Canyon Desaku 1

GRAND CANYON DESAKU
Kebonsari, Blitar.
15 tahun yang lalu


Allahuakbar-Allahu akbar…..”suara adzan memekik dari masjid. Siang hari yang terik tak menyurutkan semangat orang-orang untuk menapakkan kaki atau mengayuh sepeda mereka kuat-kuat menyongsong sholat jumat berjamaah. Ada satu hal yang amat menyenangkan di hari Jumat selain saat semua orang bisa berkumpul, di setiap hari Jumat pasti matahari amat terik dan itu yang paling di tunggu orang kampung sehabis panen mereka. Menjemur lalu menjualnya ke pasar.
Di saat adzan seperti inilah fatamorgana akan banyak muncul di aspal jalanan. Panas yang mencapai puncaknya seakan melelehkan kembali aspal-aspal padat jalanan.
Le Arsyad...,gek ndang siramsuara ibu memanggil dari dapur.
Aku yang baru saja meletakkan badan ku serasa berat untuk mengangkatnya lagi. Tapi kalau aku tak lakukan itu, bisa-bisa sapu lidi menyambutku. Aku berfikir dua kali lantas bangun, berjalan menuju kamar mandi. Kubilas badanku seperlunya, menghilangkan kotoran-kotoran kemalasan di kepala. Kuharap banyak air yang mengalir akan memberiku banyak semangat di hari Jumat ini.
Selesai mandi, lekas aku berlari mengejar waktu khutbah. Ku pakai baju putih bercorak hitam pemberian almarhumah nenekku dulu ketika pulang dari haji. Setiap memakainya selalu saja aku teringat kembali sosoknya. Sosok yang di balik kerutan-kerutan wajahnya ada sejuta kebijaksanaan dan cerita. Bagiku beliau nenek yang paling baik yang pernah ada dan beliau meninggalkan banyak sekali kenangan bagi anak dan cucunya. Di malam saat beliau menghembuskan nafas terakhir, rasa kehilangan amat besar terasa di setiap anggota keluarga. Aku yang selalu menyembunyikan kesedihan seperti tak kuasa menahan rasa sakit dan sedih. Entah kenapa tanpa kusadari air mata membasahi pipiku, mengalir begitu saja ketika jasad beliau perlahan di tutup dengan tanah. Itulah perpisahan yang amat berat bagiku. Perpisahan untuk selama-lamanya.
Ku kayuh sepedaku kuat-kuat, menembus angin yang berhembus kencang sambil sesekali membaca istigfar. Hal yang selalu ayahku suruh di setiap aku melakukan suatu pekerjaan.
Katanya, ”Hal yang paling dekat dengan manusia adalah mati, dan tak ada seorangpun di dunia ini yang tahu kapan ia akan mati. Maka nak, ingatlah selalu Allah dan selalu mintalah ampunan. Nabi Muhammad yang ma’sum saja beristigfar tujuhpuluh kali setiap hari, masak hamba-Nya yang selalu berbuat dosa lebih sedikit. Lagian bisa saja nanti tiba-tiba kamu jatuh lalu mati, iyakan?” merinding rasanya kalau ayah udah ngomong seperti itu. Tapi seandainya ayah tak berbicara seperti itu, rasanya tak mungkin aku akan mengamalkanya. Yaa itulah ayahku. Sosok yang kuat di segala hal entah keagamaannya ataupun pengaruhnya di masyarakat. Dan hal itulah yang menimbal-balik pada kehidupanku. Aku seperti hidup di bawah naungan sebuah kehormatan, ”Dimana ayahku dihormati di situlah jua aku disegani” sejenak menyenangkan tapi jujur itu membatasi pergaulanku.
Alhamdulillah” Akhirnya aku sampai. Tepat saat suara iqomah terangkat memekik. Sebuah kemajuan daripada Jumat kemarin. Aku datang ketika orang-orang kampung sudah selesai sholat. Yang ada hanyalah aku menjadi bahan tertawaan orang yang melihatku dan juga teman-teman sebayaku. Malu memang, tapi inilah pelajaran dan akupun bertekad tak akan pernah mengulanginya lagi.
Aku segera mengisi shaf yang tersisa lalu mulai mengikuti gerakan dan lantunan bacaan imam, kambali bersujud kepada Yang Kuasa dan menyadari akan kebesaran-Nya. Selesai sholat kusempatkan membaca doa, walaupun masih ada wiridan tapi banyak orang yang beranjak pergi apalagi anak-anak,“mana betah mereka?”.
Aku tak langsung pulang, biasanya setelah sholat jumat seperti ini ada sekelompok pemuda-pemuda remaja masjid yang duduk-duduk di pelantaran masjid. Mungkin sekedar mengobrol tentang sekilas berita-berita burung yang beredar di kampung.
Aku nimbrung. Disampinku Adris dan Ghozi, temanku yang paling dekat sebelum akhirnya aku harus pindah rumah dan jadi jarang ketemu.
Kau tak pernah kelihatan, Syad” Adris menyambutku.
Ya beginilah aku, kau tahukan setiap hari aku pulang sekolah jam tiga sore dan itu sudah ah ya sudahlah kau sudah paham” keluhku
Ha..ha...ha..lagian siapa suruh pilih sekolah jauh-jauh,.”Ghozi menimpali. Aku mendengus sebal.
Gak papa kok, daripada Arsyad sekolah disini sama kamu, Zi, pulang jam 12 lantas setelah itu tak jelas maennya ke mana, jadinya ia malah lebih buruk daripada ayahnya. Seharusnya-kan anak itu lebih baik daripada Ayahnya, iyakan?”Kata Adris bijak menghibur, argumen yang pas untuk hatiku yang dongkol.
Adris anak yang polos, polos sekali. Begitu terlihat bahwa ialah cerminan anak kampung yang sebenarnya. Tingginya masih di bawah tinggiku, hanya beberapa centimeter. Rambutnya yang membulat lurus kadang suka turun dan menutupi sebagian matanya. Kulitnya tanpak amat kasar, saksi akan beribu pengalaman yang pernah ia rasakan sebagai petualang sejati. Ia gudang seribu ide. Otak yang terbungkus perawakan hitamnya seakan otak-otak filosof yang tak akan pernah mati akan pemikiran. Aku belajar banyak hal darinya. Entah ilmu tentang tali-menali, cara berburu yang efektif, survival dan banyak hal yang lainya. Satu hal yang amat ku sayangkan, ia hidup hanya dengan kakaknya, Arif. Ibunya merantau jauh di negara padang pasir, Arab Saudi. Sedang tentang ayahnya aku tak banyak tahu. Yang kutahu, ayahnya sudah tiga tahun tak pulang dan amat jarang memberi kabar. Kalaupun ada kabar munkin itu hanya setahun sekali. Itulah manusia, di setiap sisi mempunyai kelebihan namun di sisi lain juga mempunyai kekurangan.
Kau mau ikut, Syad? hari ini aku dan Ghozi berencana untuk menjelajahi Sungai Proyek.” Adris menawariku.
Sungai Proyek?bukankah anak-anak dilarang untuk kesana?”
Memang, akupun dulu juga dilarang kakakku, tapi kau tahu lah bagaimana aku ini kalau dilarang, ya akhirnya aku diperbolehkan kakakku untuk ikut di setiap petualangannya.”
Kakakmu sering kesana?” aku terkejut, menyelidik, ”Tapi ia tak pernah cerita sedikitpun tentang hal itu”
Kakakku memang selalu begitu, kalau kau tahu dia punya lebih banyak pengalaman daripada aku, akupun belajar banyak darinya tentang hidup di alam”
Baiklah aku ikut, tapi untuk itu kau harus menjamin bahwa sungai itu memang betul-betul aman untuk anak-anak seumuran kita”
Santai saja semuanya bisa diatur”
Dan satu lagi, tentunya juga jaminan ibuku tak mengetahui soal ini, aku yakin ibuku akan marah besar jika aku ketahuan kesana” Kataku menambahkan.
Arsyad-Arsyad, kamu ini memang betul-betul anak yang diperhatikan” Ghozi menertawakan.
Ya terserah lach, yang penting aku harus ikut, enak sekali kakakmu itu berpetualang tanpa mengajakku. ya sudahlah aku mau pulang dulu”
Aku beranjak dari pelantaran masjid, segera memacu sepeda sekuat yang kubisa. Bayangan akan sebuah petualangan baru tergambar jelas di anganku. Gambaran sungai proyek kini juga memenuhi pikiranku.
Banyak cerita ku dengar tentang Sungai Proyek yang selama ini semakin membuatku penasaran. Entah mitos tentang buaya putih yang sering berkeliaran, roh-roh jahat yang suka mencuri anak-anak yang bermain disana, dan satu lagi cerita yang baru ku dengar, kalau ada sekelompok orang yang kesana dengan jumlah yang ganjil pasti akan terjadi hal yang buruk pada mereka.
Tapi aku tak pernah percaya dengan hal itu, serius. Seperti apa kata Adris di setiap petualangannya denganku. Buktinya tempat-tempat yang selama ini selalu ku jelajahi bersama Adris dan Ghozi, yang katanya angker ataupun berhantu, biasa-biasa saja tuh,tak ada perbedaan.
Sampai di rumah aku segera berganti baju lalu makan siang. Dengan begini aku tak akan kelaparan. Terkadang kalau diajak Adris berpetualang sering aku terlalu bersemangat dan lupa makan. Dan pastinya ketika perjalanan, perihnya perut ini pasti sangat menyiksa.
Selesai makan lekas aku mengambil sepeda lalu bergegas pergi. Rumah Adris yang ku tuju tak terlalu jauh bila ditempuh dengan sepeda. Berjarak sekitar satu kilometer saja. Sedangkan rumah Ghozi tepat di sebelah timur rumah Adris. Dulu sebelum aku pindah rumah, rumahku hanya berjarak seratus meter saja dari rumah Ghozi. Jadi kami bertiga bisa lebih leluasa melakukan petualangan. Soal pindah itu akan aku ceritakan nanti. Dan jadilah cerita dalam cerita.
Aku sampai. Adris dan Ghozi sudah bersip di halaman belakang. Aku segera menyusul. Mereka sedang sibuk berkutat mengasah belati, pisau kecil yang selalu di bawa Adris di setiap petualangannya. Kusapa mereka kemudian ikut bergabung, ikut memperhatikan Adris mengasah pisau.
Zi, korek api?”
Nih...,” Ghozi mengeluarkan barang yang dimaksud dari kantongnya.
Buat apa?” tanyaku penasaran.
Buat bakar ikan lah, nanti kutunjukkan tempat yang banyak ikannya” Adris menjawab sembari memasukkan kembali pisaunya ke sarung pisau.
Kata-katamu semakin membuatku penasaran saja tentang sungai itu, Dris” Kataku tambah bersemangat.
Selesai mengasah kami langsung berangkat. Matahari yang masih sangat terik tak menghalangi kami. Lagipula kami mememilih rute perkebunan dan melintasi sungai-sungai kecil yang membelah ladang-ladang padi. Ini dia sisi lain dari desaku yang selalu kurindukan. Ladang-ladang persawahan hijau yang terkadang menguning. Angin yang selalu berhembus sepoi-sepoi menerbangkan dedaunan kering. Jalanan hijau berumput penuh dengan seranggga yang tinggal di dalamnya. Ataupun suara gemericik air yang mengalir dari satu ladang ke ladang lainnya. Semuanya terpatri di hati selalu kurindukan.
Terkadang aku heran ‘kenapa banyak orang tua yang melarang anak mereka untuk menjelajah seperti ini. Padahal, dengan menjelajah anak bisa belajar banyak dari alam. Seperti kata pepatah,
Alam terbentang luas jadikan guru”
Sudah hampir setengah jam kami melintasi pematang sawah, berpindah dari satu ladang ke ladang yang lainnya. Namun masih belum terlihat sekecilpun Sungai Proyek.
Masih jauh?” tayaku mengeluh, ngos-ngosan.
Kau lihat bukit itu?” Ghozi yang ada di barisan depanku menunjuk ke depan.
Aku mengangguk,
Di balik bukit itu kau akan menemukannya.” Ghozi antusias menyemangati. Keringat tak kalah banyak menetes dari wajahnya.
Aku tak pernah menyangka aku akan menemukan bukit di sini. Apalagi dengan mitos di balik bukit itu.
Kami terus berjalan sampai akhirnya mencapai lereng bukit. Tak terlalu tinggi dan tak terlalu curam namun sangat gersang. Tanahnya panas terpanggang matahari membakar kaki.
Kami berlari naik bukit dibantu batuan-batuan terjal untuk menapakkan kaki. Aku sendiri terengah-engah, nafasku mulai tak teratur dan semakin cepat.
Pyuuhhh, Alhamdulillah” Kami sampai di puncak.
Sekarang aku bisa merasakan sebuah kepuasan dari kerja keras. Pemandangan yang amat indah. Sungai yang mengalir amat jernih dan bening biru. Dasarnya penuh dengan bebatuan bak lukisan-lukisan alam yang amat menawan. Ikan-ikan gesit mondar-mandir berenang melawan arus sungai.
Ini keren baanget, Dris” akuku takjup beberapa saat tak bisa berkedip.
Apa ku bilang! ini baru contoh kecih saja, Syad, kau belum lihat Grand Canyonnya ”Adris tertawa puas memamerkan pengetahuannya.
Eh, Grand Canyon? Yang sering kita lihat dimajalah?”
Iya, nanti kita kesana, disana kamu bakalan ngerasain kalau alam ini hidup. Seperti hidup kita
Ha..ha..ha...sudahlah Dris, jangan terlalu banyak membual soal itu, mending kita langsung turun aja, kakiku dah kepanasan nih” Ghozi menimpali dari belakang.
Oke-oke sabar”
Kami berjalan lagi mencari lereng yang tak terlalu curam untuk turun. Adris mengelurkan pisaunya lalu memotong ujung tangkai daun kelapa yang berserakan. Ku urungkan niatku untuk bertanya. Untuk satu hal yang ini aku berusaha menerka.
Baiklah, dari sini kita bisa langsung turun”
Adris melepas bajunya bertelanjang dada. Aku mengikuti apa yang ia lakukan. Adris meletakkan ujung tangkai Daun pohon kelapa di tepi lereng. Ia duduk palis depan, Ghozi mengikutinya duduk di belakang.
Ayo Syad!” Ghozi meneriakiku.
Aku ikuti saja yang mereka suruh.Aku duduk paling belakang.
Baiklah kita akan segera berangkat. Syad, nanti sebelum sampai di air lemparkan bajumu biar tak ikut basah” Adris mengomando.
Siap Boss!” aku tambah bersemangat.
Aku mengerti sekarang. Kami akan meluncur dengan batang tangkai pohon kelapa ini sampai akhirnya nanti langsung menghujam aliran sungai. ”Ha..ha...ha, ide yang menarik untuk sekedar bersenang-senang.”
Baiklah..SATU..,DUA...TIGA...GOOOOOOO!!!!!!”kami mulai meluncur menirukan terikan start balapan. Batang tangkai pohon kelapa yang berbentuk segitiga menambahkan gaya aerodinamis, mengurangi gaya gesek yang terjadi dengan permukaan tanah. Kecepatanpun semakin bertambah cepat.
WAAAAAAAAAAAAA........,BYURR!!”
Kami berteriak melompat ke air, beberapa detik tenggelam lalu kembali berenang ke permukaan.
Hosh....huh...MANTAAB” Aku berteriak puas.
Ha..ha..ha, hebat bukan!?” Adris tersenyum puas. Ia berenang mondar-mandir memamerkan gaya berenangnya.
Air yang mengalir dingin sangat menyegarkan apalagi dengan bebatuan koral yang ada di bawahnya menambah semakin indah. Angin yang sesekali berhembus, menambah kenikmatan untuk menyelam. Sisi-sisi bukit yang membatasi sungai bagaikan benteng yang melindungi kami dari sinar matahari. Aku berdecak kagum melihat hal-hal seperti ini, masih tak percaya bahwa di desaku ini ada sebuah keindahan seperti ini. Mungkin saja kelak, bila ini di kelola, bisa di jadikan tempat wisata yang bagus.
Lama aku berdecak kagum tanpa kusadari kini kami tinggal berdua. Adris tak kelihatan ujung hidungnya. Aku mulai gelisah ”jangan-jangan ia di curi roh jahat” pikirku mengingat cerita-cerita yang ku dengar. Aku segera berdiri dari posisiku.
Zi, kau lihat Adris?” tanyaku mulai panik.
Bayangan tentang roh jahat berkemelut di pikiranku. Apalagi melihat jumlah kami, itu artinya jumlah GANJIL!

Bersambung


Comments

Popular posts from this blog

Wajah-Wajah Angkatan 2014, Smart Generation.

Apa Bahasa Inggrisnya "Crot"?

Kondangan mulu, kapan dikondangin?